1.
Pengantar
Masalah
terbesar di Provinsi Papua yang mendesak dan membutuhkan penanganan cepat
adalah masalah kemiskinan. Saat ini tercatat lebih dari 50% penduduk Provinsi
Papua di kampung masuk kategori miskin pada 2007. Sedangkan jika digabungan
antara kampung dan kota presentase
kemiskinan tingkat kemiskinan 40,78%. Kondisi ini merupakan yang tertinggi di
Indonesia secara nasional,
Kota
Jayapura merupakan wilayah dengan
penduduk miskin terbesar sebanyak yakni mencapai 52,11%. Kondisi ini
dipengaruhi oleh arus urbanisasi dari desa ke kota tanpa diimbangi dengan
ketrampilan yang cukup untuk ikut berperan dalam perekonomian kota. Pada sisi
lain juga disebabkan oleh kurangnya kapasitas pembuat kebijakan dalam
mengantisipasi hal tersebut. Wilayah kabupaten dengan prosentase penduduk
miskin terbesar adalah Kabupaten Jayawijaya yakni mencapai 50,31%.
Gubernur
Provinsi Papua, kemudian mempromosikan visi pembangunan yang berbasis kepada
kampung. Visi ini kemudian dirumuskan dalam Rencana Strategis Pembangunan
Ekonomi Kampung (RESPEK). Melalui skema PNPM-RESPEK, pemerintah menyalurkan
dana Rp. 100 juta kepada setiap kampung untuk dimanfaatkan bagi pembangunan
kampung.
Program
RESPEK dimulai sejak Tahun 2006. Melalui dana yang diberikan tersebut
pemerintah provinsi berharap dapat merevitalisasi kegiatan ekonomi di kampung.
Untuk memperoleh dana tersebut, penduduk kampung membentuk kelompok kegiatan
ekonomi yang kemudian mengajukan usulan proyek untuk didanai. Dalam banyak segi
sebenarnya program RESPEK mirip dengan
Program Pembangunan Kecamatan (PPK) yang berlaku di seluruh Indonesia
sejak Tahun 1998.
Untuk
mensukseskan program ini di Papua, World Bank sejak Tahun 2006 telah
memfasilitasi penyediaan dana pendampingan kepada Provinsi Papua sebagaimana
diminta oleh Pemerintah Pusat. Selanjutnya World Bank membantu pemerintah untuk
merubah program PPK menjadi RESPEK di Papua sehingga cocok dengan visi gubernur
Barnabas Suebu tentang pembangunan berbasis kampung dan peran tersebut terus
berlanjut hingga saat ini.
2.
Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
Pemerintah
menekankan pada pembangunan berbasis kampung (Respek). Dalam program ini
pemerintah provinsi menekankan pada tiga isu penting dalam pembangunan, yaitu
keberpihakan, pemberdayaan dan kemandirian. Keberpihakan direncanakan karena
orang asli Papua tidak menang bersaing secara terbukan dengan orang non Papua
(pendatang), karena kualitas sumber daya manusia orang asli Papua yang masih
rendah. Keberpihakan ini ditandai dengan dana Respek (Rencana Strategis
Pengembangan Kampung) senilai 100 juta ke setiap kampung. Penggunaan uang
tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan persyaratan yaitu harus ada
perencanaan, pelaksanaan, pelaporan sebagai tanggungjawab penggunaan dana
tersebut. Respek memang memiliki orientasi untuk memberdayakan masyarakat Papua
yang tinggal di kampung, namun pelaksanaan belum menyentuh aspek pemberdayaan
yang menjadi tujuan utama program tersebut. Hal ini disebabkan oleh
1
Sebagian dana Respek telah dicairkan
pemerintah provinsi ke seluruh kampung sebanyak dua, namun sampai saat ini
masyarakat kampung belum memiliki rencana pembangunan dari pengalokasian dana
Respek tersebut.
2
Respek diharapkan dapat mendorong
masyarakat dalam membangun perekonomiannya, namun kecenderungan dana Respek hanya
untuk dibagi-bagi saja.
Di
sisi lain dari Laporan Dr. Johanis Sumarto anggota DPR Papua dari partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) secara garis besar ia mengatakan “ Respek
hanya menghambur-hamburkan uang”. Terdapat enam program pokok dalam program
respek yaitu gizi dan makanan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, infrastruktur
dan pemerintahan kampung. Namun tidak mengetinya masyarakat dan belum adanya
pendampingan dalam perencanaan dan pengunaan dana tersebut, maka yang dilakukan
oleh masyarakat adalah membagi-bagi dana itu. Hal ini dikarenakan oleh;
-
Pertama, masyarakat kampung belum mampu
untuk merencanakan penggunaan dana respek tersebut.
-
Kedua, fasolitator tidak memahami
persoalan yang dihadapi oleh kampung-kampung yang ada di Papua.
-
Ketiga, pendampingan sangat urgen dalam
membantu masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan Respek belum memadai.
Hal ini
mengakibatkan Respek belum jalan optimal, padahal dalam tataran konsep sudah
sangat baik, namun dalam tataran implementasi bermasalah.
3.
Respek dan Persoalan Dalam Hidup Masyarakat
Respek
merupakan salah satu program yang dicanangkan di masa kepemimpinan Gubernur
Provinsi Papua, Barnabas Suebu (2006-2011). Kendatipun diklaim sebagai sebuah
strategi pemberdayaan masyarakat, Respek masih bertumpu pada inisiatif
pemerintah. Karena itu, bila Respek tidak dipahami dan dilaksanakan dengan
baik, Respek berpotensial menciptakan, empat bentuk akibat pembangunan bagi
masyarakat Papua.
Pertama,
sikap ketergantungan. Sumber pembiayaan utama Respek adalah dana transfer
pemerintah Provinsi Papua ke rekening masyarakat di kampung-kampung. Dana
sebesar Rp 100 juta per kampung itu dialokasikan setiap tahun. Juga, berkerja
sama dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)-Mandiri, dana APBN
pun ditambahkan ke dalam Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Dana yang diberikan
bisa mencapai Rp 200-300 juta per kampung. Dengan dana PNPM Respek-Mandiri,
fasilitas kampung cepat direalisasikan secara murah. Namum, tanpa sadar cara
ini menggiring masyarakat ke dalam situasi ketergantungan pada bantuan (dana)
pemerintah. Tercipta suatu kebiasaan masyarakat bahwa tanpa kerja keras pun,
mereka tetap mendapatkan uang dari pemerintah. Kebiasaan bekerja keras akan
makin punah oleh budaya harap gampang. Masyarakat kampung menjadi penerima
hadiah atau gula-gula manis dari pemerintah.
Kedua,
pemaksaan Kerja. Penyaluran dana Respek terhadap masyarakat bukan diberikan
secara gratis. Masyarakat diharuskan untuk bekerja sesuai dengan tuntutan yang
diberlakukan oleh pemerintah. Bagi keluarga atau kampung yang mau menerima dana
Respek diharuskan untuk bekerja, misalnya di Sugapa paroki Bilogai diharuskan
membuat kolam dan kandang kelinci. Program Respek seperti ini sering tidak kena
konteks, karena tidak sesuai dengan pola kerja orang setempat. Kalau tidak sesuai
dengan konteks maka hasilnya pun tidak maksimal, misalnya kolam. Apakah dalam
kolam itu ada ikan atau tidak, bagi pemerintah itu tidak menjadi persoalan yang
penting secara fisik kolam itu ada.
Ketiga,
Penyalagunaan Uang. Walaupun Respek bertujuan untuk menyejahterahkan rakyat,
tetapi dana yang diberikan digunakan untuk minuman keras (Miras), main judi dan
lainnya. Dengan Respek secara umum boleh dikatakan menimbulkan banyak persoalan
baru dalam hidup masyarakat. Dalam pengelolahan Respek saja tidak maksimal
dilaksanakan masyarakat. Uang Respek kebanyakan digunakan untuk membayar
maskawin dan meyelesaikan masalah-masalah. Sebab terjadi demikian, karena tidak
ada control yang intensif dari pihak yang berwenang. Karena itu, masyarakat
tidak megelola uang itu dengan baik pula. Masyarakat gunakan tidak sesuai
dengan visi Respek yang dicanangkan. Mungkin sebenarnya tujuan dari Respek
sangat bagus di atas kertas, namun kenyataannya tidak sejalan. Tetapi
pemerintah mengharuskan untuk membuat laporan, sesuai dengan pengelolahan uang
di lapangan.
Kadang
masyarakat membuat laporan yang sebenarnya tidak benar. Ini berarti masyarakat
menipu pemerintah dan pemerintah menipu rakyat. Kalau realitas demikian adanya,
maka boleh dikatakan dan memang realitas menunjukkan bahwa masyarakat sangat
belum siap menerima perubahan yang terjadi.
Ketiga,
konflik. Dana yang disalurkan pemerintah provinsi Papua ke kampung-kampung, di
satu sisi, menjadi sumber pembiayaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat,
tapi di sisi lain, potensial melecut konflik dalam masyarakat dan
benturan-benturan kewenangan pada tingkatan-tingkatan pemerintahan. Ini dapat
terjadi ketika penyalurannya dirasakan tidak adil kepada masyarakat. Potensi
ketidakadilan program Respek memang telah diantisipasi melalui mekanisme
musyawarah di tingkat kampung. Kerapkali juga mekanisme ini dimanipulasi oleh
para elite kampung, baik dalam pemerintahan formal maupun adat. Hal ini
diperburuk oleh rendahnya tingkat pemahaman, informasi yang tidak utuh. Bila
hal ini tidak diatasi, bukan tidak mungkin dana Respek bisa menciptakan konflik
atau memperlebar konflik yang mungkin telah ada.
Keempat,
politik. Sepintas program Respek tampak sebagai program pembangunan biasa, tapi
bila diteliti maka merupakan bagian dari politik pemerintah mengatasi gejolak
politik di Tanah Papua. Status otonomi khusus yang diterima Provinsi Papua
melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 berorientasi politik “pembungkaman”
aspirasi Papua merdeka. Hal ini diberlakukan untuk menghindarkan masyarakat Papua
dari membicarakan hal-hal substansial dan multidimensional yang melilit mereka.
Kendatipun banyak hal yang berusaha didekati Undang-Undang No. 21 Tahun 2001,
seperti isu identitas, sejarah, sosial-budaya, ekonomi, politik dan hak asasi
manusia, ternyata lebih ditonjolkan pendekatan moneter: triliunan rupiah
dikucurkan ke Papua. Program Respek bisa menjadi instrumen untuk meraih
dukungan masyarakat guna mempertahankan kekuasaan. Pengucuran dana ke
kampung-kampung tampak pro-rakyat, namun menjadi investasi politik yang besar.
Karena itu, otoritas kekuasan yang sedang berjalan harus dipertahankan demi
tetap jalannya aliran dana. Hal ini akan jelas saat pemilihan gubernur.
4.
Kurangnya Kontrol Pemerintah Terhadap Penyaluran Dana Respek
Tidak
dipungkiri bahwa di kampung-kampung dana Respek sudah menjadi sumber datangnya
uang bagi masyarakat lokal. Setiap tahun dana itu dikucurkan kepada rakyat,
tanpa memperhitungkan berhasil atau tidaknya penggunaan dana Respek teresebut.
Dalam hal ini pemerintah tidak berhasil dan gagal total. Terkesan ada proses
pembiaran pengolahan ekonomi rakyat. Sehingga masyarakat secara bebas
menggunakan dana Respek yang diterimanya. Seharusnya pemerintah yang berwenang
harus mengontrol apakah masyarakat atas berhasil-tidaknya mengelolah ekonominya,
tetapi hal ini pun tidak dilakukan, maka dengan sebebas-bebasnya masyarakat
menggunakan dana itu sesuai kebutuhan yang diperlukan. Dana itu digunakan entah
kapan saja, ia mau gunakan.
Kebebasan
menggunakan uang berawal dari penyerahan uang oleh pendamping respek kepada
masyarakat, melalui kepala kampung (langsung diserahkan kepada Ketua team yang
sudah ditunjuk oleh Masyarakat). Setelah penyerahan itu, para pendamping
meninggalkan tempat itu, sehingga tidak ada proses selanjutnya yang dilakukan
oleh pendamping Respek. Setetelah penyerahan mereka menganggap tugasnya
selesai. Hal ini berakibat fatal dengan tujuan Respek yang sebenarnya. Oleh
karena itu, pemerintah harus mengevaluasi cara kerja para pendamping Respek,
agar tidak terkesan dari sisi konsep RESPEK memang program yang ideal, tapi
dari sisi penyerapan tidak kena pada sasaran yang sebenarnya.
5.
Pastoral Partisipatif Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat
Membangun
karya pastoral bertujuan untuk perubahan sosial di tengah masyarakat. Perubahan
yang berfocus pada kehidupan sehari-hari dan masalah-masalah riil yang dihadapi
umat. Untuk melasksanakan pastoral partisipatif bersama umat, tidak harus
memulai dari kekosongan. Sudah ada banyak pemikiran dan kebiasaan baik ada
dalam umat kita, yang dapat kita kembangkan untuk memperkuat sosial ekonomi
tersebut. Ekonomi umat ini hanya dapat dibangun di atas dasar saling percaya.
Demikian
pula, patut kita menghargai sejumlah inisiatif dan program yang diambil
pemerintah dan kekuatan ekonomi berskala besar, misalnya Respek. Untuk
berpartisipasi dalam memberdayakan umat, agar tidak melahirkan pola
ketergantungan kepada pemerintah, diperlukan pola pastoral bisa memantau secara
kritis dari penggunaan dana respek itu. Dasar untuk memberdayakan ekonomi umat
mestinya dibangun dalam kerangka Komunitas Basis, dan Koperasi-koperasi umat.
Kerangka ini pasti ada di tiap-tiap Paroki di Papua.
Komunitas
Basis, sebagai cara menggereja secara baru yang perlu menjadi wadah saling
menguatkan dalam iman, yang membuahkan usaha-usaha yang nyata. Dalam konteks
ini pastoral partisipatif memiliki peran yang penting. Para pastor atau timpas
memiliki peran untuk menjelaskan atau melakukan pembinaan atau pelatihan atau
dana Respek yang dikucurkan dalam jumlah yang tinggi. Kalau ada penjelasan,
pembinaan dan pelatihan tentang pemberdayaan ekonomi terhadap umat di kombas,
pasti mereka memiliki pemahaman baru. Hal ini harus dijadwalkan, agar tidak
terputus dan tidak berhasil.
Koperasi-koperasi
Umat, hendaknya dikelola sebagai bentuk usaha bersama yang memperhatikan secara
umum Orang Muda Katolik, Wanita Katolik dan lainnya. Lebih khusus kepada kaum
lemah (mereka yang secara materil berkekurangan) dan mampu secara aktif
melakukan usaha ekonomi. Pastosal partisipatif sangat memiliki peran dalam
memdorong dan memberdayakan umat. Khususnya saat diberkan dana Respek, pastor
atau yang memiliki tugas ini harus bekerja keras untuk melakukan pemotongan
atau sumbangan demi koperasi mereka. Hal ini tidak terlepas dari proses
pembinaan, pelatihan dalam mengatur keuangan dan banyak kegiatan lainnya yang
bisa dilakukan.
6.
Penutup
Dalam
tilisan ini, sudah banyak ditulis berbagai macam kekuarangan dan kelebihan
terhadap pemberlakuan Respek. Di satu sisi, Respek bisa membagi uang kepada
rakyat, yang sebelumnya tidak tahu-menahu tentang uang. Boleh dikatakan
demikian karena respek diberlakukan bukan di kota-kota, melainkan di
kampung-kampung. Kalapun masyarakat tahu uang, tetapi dalam angka yang tidak
setinggi Respek. Hal ini sebagai sala satu pemahaman baru bagi masyarakat
local. Di sisi lain, respek tidak membawa perubahan, karena jika diteliti lebih
jauh ada sebab-sebab baru yang timbul dalam masyarakat, judi, miras (minum
minuman keras), seks bebas (uang dari dana respek) dan berbagai macam persoalan
lain yang muncul.
Dalam
hal ini, Respek Gagal total. Sebab terjadinya kegagalan karena kurangnya
control pemerintah terhadap cara pakai masyarat atas uang itu. Kalau kurangnya
control jelas bahwa masyarakat menggunakannya sesuai kebebasannya. Maka perlu
ada evaluasi pemerintah terhadap implementasi Respek dan melihat sisi baik dan
buruknya. Kalau demikian terus adanya, Respek gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar