Laman

Kamis, 27 Juni 2013

Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
BAB I
PENDAHULUAN

Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Dulu undang-undang yang digunakan adalah UU No. 5 tahun 1974, kemudian seiring berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999. dan yang terakhir digunakan sekarang adalah UU No. 32 tahun 2004. Sebelum UU No.5 digunakan, terlebih dahulu ada UU No.18 tahun 1965.
Mengenai Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi:
“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat istimewa ”
Dari ketentuan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.            Wilayah Indonesia dibagi ke dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif
2.            Daerah-daerah itu mempunyai pemerintahan
3.            Pembagian wilayah dan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan atau atas kuasa UU
4.            Dalam pembentukan daerah-daerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam menentukan susunan pemerintahannya harus diingat permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Dalam makalah ini, akan kami bahas mengenai perbedaan antara UU No. 22 tahun 1999 dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


BAB II
PEMBAHASAN

1.            UU No. 22 Tahun 1999
UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.
UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.
Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat 1).
Ada beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:
1.            Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.
2.            Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.
3.            Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.
4.            Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.
5.            No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.
6.            Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses rekrutmen politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.
2.            UU No. 32 Tahun 2004
Dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal karena keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.
Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.
Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.
Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.


BAB III
KESIMPULAN


Istilah
UU No.22/1999
UU No.32/2004
Pemerintah Pusat
Perangkat NKRI yang terdiri dari presiden beserta para menteri menurut asas desentralisasi
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
Desentralisasi
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI
Dekonsentrasi
Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah
Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal wilayah tertentu
Tugas pembantuan
Penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan
Penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupatean/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupatean/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
Otonomi daerah
Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Daerah otonom
Keaatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI
Keaatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintaha dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI
Wilayah admininstrasi
Wilayah kerja Gubernur selaku wakil pemerintah

Kelurahan
Wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan

Pemerintah daerah
Kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah
Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemda
Pemerintahan daerah
Penyelenggaraan Pemda otonom oleh Pemda dan DPRD dan/ atau daerah kota di bawah kecamatan
Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem prinsip NKRI
Desa
Kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur menurut asas desentralisasi
Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DEFINISI, DIMENSI DAN DERAJAT DESENTRALISASI (Bahan Kuliah Prof. Dr. Sadu Wasistiono MS)

                                                                                      

PENDAHULUAN
            Revolusi teknologi informatika dan komunikasi telah mendorong lahirnya demokratisasi gelombang ketiga (lihat misalnya pandangan Samuel P. Huntington[1]), yang pada gilirannya telah mendorong adanya gerakan desentralisasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
            Definisi tentang desentralisasi yang ditulis oleh para ahli jumlahnya sangat banyak. Mereka menulis dengan latar belakang politik, pengalaman dan pengaruh bentuk negara di mana mereka tinggal. Agar diperoleh pandangan konsep yang kontekstual, di dalam definisi desentralisasi dikemukakan pula menurut berbagai undang-undang yang pernah digunakan di Indonesia, terutama tiga undang-undang yang terakhir yakni UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Alasannya adalah karena para penyelenggara pemerintahan negara maupun pemerintahan daerah secara kultural masih sangat dipengaruhi oleh ketiga UU tersebut, terutama UU Nomor 5 Tahun 1974 yang sempat digunakan selama 25 tahun.
            Setelah membahas tentang definisi desentralisasi dari berbagai sudut pandang, selanjutnya akan dibahas mengenai tujuan desentralisasi serta jenis-jenis desentralisasi dilihat dari dimensi dan derajadnya.
            Melalui submodul 1, pembaca diharapkan dapat memahami :
1.      Pengertian desentralisasi;
2.      Tujuan desentralisasi;
3.      Dimensi dan derajad desentralisasi.



Kegiatan Belajar 1
Definisi Desentralisasi


            Perdebatan mengenai definisi serta ruang lingkup desentralisasi sama serunya seperti perdebatan tentang definisi demokrasi. Secara etimologis, kata desentralisasi berasal dari gabungan dua kata “de” dan “sentralisasi”. Kata de berarti gerak menjauh, gerak memudar, atau melepaskan diri seperti yang digunakan pula dalam kata de-kolonisasi, de-birokratisasi dan lain sebagainya. Kata sentralisasi berarti pemusatan kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian secara etimologis, desentralisasi adalah gerakan menjauh atau memudar, melepaskan diri dari sentralisasi. Dalam Glossary World Bank [2] dikemukakan bahwa desentralisasi adalah “ A process of transferring responsibility, authority, and accountability for specific or broad management functions to lower levels within an organization, system, or program”.  Artinya, desentralisasi adalah sebuah proses pemindahan tanggung jawab, kewenangan dan akuntabilitas mengenai fungsi-fungsi manajemen secara khusus ataupun luas kepada aras yang lebih rendah dalam suatu organisasi, sistem atau program.
            Definisi desentralisasi yang dikemukakan di atas disusun dalam konteks organisasi, sistem ataupun program, bukan dalam konteks negara. Definisi di atas misalnya dapat dibandingkan dengan pandangan Litvack & Seddon[3] yang mengemukakan bahwa desentralisasi adalah : “ transfer of authority and responsibility for public function from central to sub-ordinate or quasi-independent  government organization or the private sector “. Definisi desentralisasi dari Litvack dan Seddon, dipahami dalam konteks hubungan pemerintah yang mewakili negara dengan entitas lainnya meliputi organisasi pemerintah sub-nasional, organisasi pemerintah yang semi-bebas serta sektor swasta.
            Menurut Rondinelli & Cheema[4] dilihat dari sudut pandang kebijakan dan administrasi, desentralisasi dapat dimaknai sebagai  : “transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau   otoritas administrative dari pemerintah pusat kepada organisasinya  di lapangan, unit -unit administrative lokal,  organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah”.

Dalam konteks negara, dibedakan antara desentralisasi di negara berbentuk federal dengan negara berbentuk kesatuan (unitaris). Dalam negara berbentuk federal, negara bagian atau provinsi dapat ada lebih dahulu dibanding negara federalnya, sehingga sumber kekuasaan justru berada di negara bagian atau provinsinya. Pemerintah federal tidak boleh mencampuri urusan negara bagian atau provinsi kecuali yang telah ditetapkan dalam konstitusi negara federal. Dengan demikian isi urusan pemerintahan negara bagian lebih luas dibandingkan isi urusan pemerintahan negara federalnya. Urusan pemerintahan yang ditangani oleh pemerintah negara federal adalah urusan moneter, fiskal nasional, politik luar negeri, peradilan tinggi, pertahanan, keamanan nasional, teknologi tinggi. Selebihnya menjadi urusan pemerintahan negara bagian atau provinsi.

Gambar 1.1. Hubungan Sumber  Kekuasan Pemerintahan Antara
Pemerintah  Federal dengan Pemerintah Negara Bagian atau Provinsi Dalam Negara Berbentuk Federal
Pada negara berbentuk kesatuan atau unitaris, pemerintah pusat dibentuk terlebih dahulu, kemudian pemerintah pusat mentransfer sebagian kekuasaannya kepada organisasi pemerintah subnasional, organisasi semi-otonom maupun organisasi nonpemerintah untuk mengelola sebagian fungsi-fungsi publik.
               
Dari penjelasan di atas dapat dimaknai bahwa dalam negara unitaris, sumber kewenangan yang ditransfer kepada daerah otonom berasal dari pemerintah pusat.
Dalam beberapa hal desentralisasi dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih luwes. Dengan kata lain, desentralisiasi memberi dukungan yang lebih konstruktif dalam pengembilan keputusan. Hal ini sejalan dengan pendapat Douglas Mc. Gregor[5] yang mengatakan bahwa : “ Jika kita dapat menekan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah, maka kita akan cenderung memperoleh keputusan-keputusan yang lebih baik”.
Lebih lanjut Douglas Mc. Gregor (dalam Pamudji, 1984:3  [6]) menekankan bahwa : ‘Desentralisasi bukan saja akan memperbaiki kualitas dan keputusan-keputusan yang diambil tetapi juga akan dapat memperbaiki kualitas dari pada pengambilan keputusan. Dalam hubungan ini pakar tersebut menyimpulkan bahwa “People tend to grow and develop more rapidly and they are motivated more effectively” jika wewenang keputusan didesentralisasikan.
Pernyataan-pernyataan pakar tersebut mendorong perlunya asas desentralisasi diterapkan kedalam setiap organisasi yang besar. Dengan pengambilan keputusan pada tingkat bawah organisasi dipandang sebagai jalan terbaik untuk melahirkan keputusan-keputusan yang lebih sesuai dengan kepentingan organisasi.
Desentralisiasi pada hakekatnya merupakan konsep yang lahir setelah sentralisasi mencapai wujudnya. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Paul Appleby (dalam Pamudji,[7] 1984 : 5 ) yang mengatakan bahwa : “it is imposible to decentralize until administrative power has been centralized”.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa konsep desentralisasi tetap berlandaskan pada The Philosophy of Superiors sehingga menurut Pamudji (1984 : 5) bahwa “Desentralisasi akan berhubungan dengan permasalahan tentang sejauh mana top manajemen percaya pada organisasi bawahannya, betapapun desentralisasi dibutuhkan dalam proses administrasi namun tetap merupakan sesuatu yang bermula dan sekaligus bertumpu pada kemauan politik dari top manajemen. Desentralisasi juga adalah cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara.
Pada hakekatnya secara prosesual desentralisasi berawal dengan pembentukan Daerah Otonom, dan perwujudannya di tingkat daerah ialah Otonomi Daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bhenyamin Hoessein[8] bahwa : Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Dengan demikian konsep desentralisasi sesungguhnya mengandung dua pengertian yaitu : 1) Desentralisasi itu adalah pembentukan daerah otonom yang sekaligus diberikan wewenang tertentu kepadanya untuk diatur dan diurus sendiri. 2) Desentralisasi dapat juga berarti sebagai penyerahan wewenang tambahan kepada daerah otonom yang telah terbentuk. (Bhenyamin Hoessein,
Definisi tentang desentralisasi yang dikemukakan oleh para pakar selama ini didasarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda sehingga sulit untuk diambil defenisi yang paling tepat dan relevan. Walaupun demikian, perlu diketengahkan beberapa batasan yang diajukan oleh para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian mendasar tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Handbook of Public Administration yang diterbitkan oleh PBB [9](United Nations, 1961 : 64). menyebutkan bentuk-bentuk desentralisasi sebagai: The two principal forms of decentralization of governmental power and functions are deconcentration to area offices of administration and devolution to state and local authorities. (Kedua bentuk yang paling pokok dari desentralisasi kekuasaan pemerintah dan fungsi-fungsinya adalah dekonsentrasi pemerintahan wilayah dan devolusi (pelimpahan kekuasaan) pada kewenangan-kewenangan pemerintah daerah.

Area offices administration adalah suatu perangkat wilayah yang berada di daerah. Kepada pejabatnya oleh departemen pusat dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu yang bertindak sebagai perwakilan departemen pusat untuk melaksanakan fungsi bidang tertentu yang bersifat administrative tanpa menerima pelimpahan kewenangan secara penuh (final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada departemen pusat. Dikemukakan bawha “the arrangement is administrative in nature and implies no transfer of final authority from the ministry, whose responsibility continues” ( Pengaturannya itu hanya bersifat administratif, dan implikasinya bukan penyerahan kewenangan penuhn, tetapi pertanggungjawaban akhir tetap pada pemerintah pusat [10](United Nations, 1961:64). Hal ini berbeda dengan devolution, dimana sebagian kewenangan yang diserahkan kepada badan politik di deaerah itu merupakan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan, baik secara politik maupun secara administrative. Sifatnya adalah penyerahan nyata yang berupa fungsi dan kewenangan, bukan hanya sekedar pelimpahan. Ditegaskan bahwa “this type of arrangement has a political as well as an administrative character”.[11]
Selain berdasarkan pandangan para pakat, perlu pula dikemukakan pengertian desentralisasi menurut peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di Indonesia yang pernah menjadi hokum positif pada jamannya. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, Pasal 1 huruf (b) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah “ penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya”. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa UU ini menganut paham penyerahan urusan pemerintahan (transfer of functions), serta desentralisasi yang dilakukan secara bertingkat. Tetapi UU ini tidak pernah memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan. 
 Berbeda dengan UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 yang lahir sebagai buah gerakan reformasi tahun 1977 telah memberikan definisi yang berbeda mengenai desentralisasi. Pada Pasal 1 huruf (e) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini menganut paham penyerahan wewenang pemerintahan (transfer of authority).
UU Nomor 22 Tahun 1999 ternyata tidak berusia panjang karena isinya penuh dengan kontroversi. Lima tahun kemudian UU ini diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, yang pada Pasal 1 butir nomor (7) memberikan definisi tentang desentralisasi sebagai “ penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. UU ini menggunakan paham penyerahan wewenangn pemerintahan (transfer of authority) untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Tetapi UU ini juga tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan. Definisi yang jelas mengenai urusan pemerintahan baru dimuat dalam Pasal 1 butir nomor (5) PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota. Urusan pemerintahan adalah “ fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat”.







                                                                                                                         Kegiatan Belajar 2
Tujuan Desentralisasi

Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan dunia ketiga. Banyak negara bahkan telah melakukan perubahan struktur organisasi pemerintahan ke arah desentralisasi. Minat terhadap desentralisasi ini juga senada dengan kepentingan yang semakin besar dari berbagai badan pembangunan internasional (Conyers,[12] 1983 : 97). Kini desentralisasi telah tampil universal dan diakomodasi dalam berbagai pandangan yang berbeda. Untuk memahami keberadaan dan arti penting local government sebagai konsekuensi desentralisasi ini maka sebaiknya perlu disimak perkembangan teoritis dari berbagai perspektif yang ada dalam memandang local government sebagaimana dipaparkan oleh Smith [13](1985, 18-45). Terdapat tiga perspektif dalam melihat desentralisasi, yakni liberal democracy, economic interpretation, dan marxist interpretation.

Dalam pandangan demokrasi liberal, local government membawa dua manfaat pokok. Pertama, ia memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional karena local government itu mampu menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat, dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Lebih jelas lagi, Hoessein [14](2000) menambahkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat.

Kedua, local government mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat (locality). Sebagaimana diingatkan oleh Hoessein [15](2001a) bahwa local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas tersebut bukan bangsa. Makna lokalitas ini juga tercermin dalam berbagai istilah di berbagai negara yang merujuk pada maksud yang sama. Commune di Perancis, Gemeinde di Jerman, Gementee di Belanda, dan Municipio di Spanyol yang kemudian menyerupai Municipality di Amerika Serikat (Norton[16], 1997: 23-24).

Manfaat bagi masyarakat setempat ini adalah adanya political equality, accountability, dan responsiveness.  Sementara itu, dalam pandangan yang senada Antoft & Novack [17](1998: 155-159) juga mengungkapkan manfaat dari local government ini dalam beberapa hal, yakni : accountability, accessibility, responsiveness, opportunity for experimentation, public choice, spread of power, dan democratic values. Dalam interpretasi ekonomi (baca pula Stoker, [18]1991: 238-242, mengenai public choice theory), desentralisasi merupakan medium penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik. Menurut perspektif ini, individu-individu diasumsikan akan memilih tempat tinggalnya dengan membandingkan berbagai paket pelayanan dan pajak yang ditawarkan oleh berbagai kota yang berbeda. Individu yang rasional akan memilih tempat tinggal yang akan memberikan pilihan paket yang terbaik. Sedangkan Campo dan Sundaram[19] mengemukakan bahwa desentralisasi penting untuk kestabilan politik (political stability), keefektifan pemberian pelayanan public (effective service delivery), pengurangan kemiskinan (poverty reduction), dan menciptakan keadilan atau kesetaraan (equity).

Manfaat yang bisa dipetik dari local government dalam perspektif ini meliputi: pertama, adanya daya tanggap publik terhadap preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Barang dan pelayanan publik yang ditawarkan oleh pemerintah daerah, tidak seperti swasta, akan dinikmati oleh seluruh penduduk yang relevan, sehingga konsumsi oleh satu penduduk tidak akan mengurangi jatah penduduk yang lain.

Pemerintah daerah juga akan menjamin keterjangkauan biaya penyediaan barang dan pelayanan publik, yang apabila diberikan oleh swasta akan menjadi tidak efektif Selain itu, local government juga memberikan cara agar preferensi penduduk dapat dikomunikasikan melalui pemilihan dan prosedur politik lainnya.  Kedua, local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (the demand for public goods). ‘Demand’ dalam preferensi pasar swasta lebih mudah diketahui melalui kemauan untuk membayar, akan tetapi dalam politik, ia sulit diidentifikasi karena relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan kepemimpinan.

Desentralisasi mampu mengurangi persoalan ini dengan meningkatkan jumlah unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (the supply of public goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik diselenggarakan tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungannya untuk memberikan pelayanan. Semakin monopolistik pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasar pada teori, yurisdiksi terfragmentasi akan lebih memberikan kepuasan kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi akan memberikan peluang antar yurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanannya. Interpretasi Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antar wilayah geografis.

Terdapat beberapa penjelasan yang melandasi ketidakberpihakan pandangan marxist terhadap desentralisasi. Pertama, pandangan ini melihat bahwa pembagian wilayah dalam konteks desentralisasi hanya akan menciptakan kondisi terjadinya akumulasi modal sehingga memunculkan kembali kaum kapitalis. Kedua, desentralisasi juga akan mempengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua kelas. Desentralisasi hanya akan menghasilkan ketidak-adilan baru dalam konsumsi kolektif antar wilayah. Ketiga, meskipun demokrasi pada dasarnya akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah (yang berarti seharusnya kelas pekerja yang mendominasi, tetapi ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh kaum kapitalis untuk menghalang-halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga perwakilan dalam pemerintahan daerah tetap merupakan simbol demokrasi liberal dan tetap akan dikuasai oleh kaum kapitalis. Keempat, dalam kaitannya dengan hubungan antar pemerintahan, maka pemerintah daerah hanya menjadi kepanjangan aparat pemerintah pusat untuk menjaga kepentingan monopoli kapital. Dalam bidang perencanaan, desentralisasi juga tidak akan pernah menguntungkan daerah-daerah pinggiran dan membiarkannya dengan melindungi daerah kapitalis. Desentralisasi juga menghindarkan redistribusi keuangan dan pajak dari daerah kaya ke daerah miskin. Desentralisasi hanya akan menghilangkan tanggung jawab kaum borjuis terhadap daerah-daerah yang tertekan. Kelima, terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi lokal akan berjalan dalam suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek ekologis, politik, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi di tingkat lokal hanya akan mengalami kegagalan. Menurut pandangan Marxist semua ini hanya akan dapat ditanggulangi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistnbusi dan keadilan.

Berdasarkan berbagai pandangan para pakar sebagaimana dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi mempunyai tiga tujuan yakni tujuan politik, tujuan administrasi serta tujuan sosial ekonomi. Pertama, tujuan politik, yakni untuk menciptakan infrastruktur dan suprastruktur politik yang lebih demokratis, sehingga semakin banyak rakyat sebagai pemilik kedaulatan ikut terlibat dalam proses perumusan, pelaksanaan, serta evaluasi kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat publik – baik yang diangkat maupun yang dipilih. Melalui cara ini, maka hakekat desentralisasi yakni menyelesaikan masalah setempat- oleh orang setempat – dengan cara setempat, dapat terwujud.

Kedua, tujuan administrasi, yakni menciptakan bangunan birokrasi dan sistem pemerintahan yang dapat memberikan pelayanan lebih cepat, murah, mudah serta menjalankan sistemnya secara lebih efektif, efisien, “equity”( adil/setara) dan “economic”(mampu mengungkit potensi ekonomi masyarakat menjadi kekuatan yang nyata) ( Nilai 4E).
            Ketiga, tujuan sosial ekonomi, yakni mampu membuat rakyat lebih sejahtera lahir dan batin, serta mampu memupuk modal sosial sehingga masyarakat memiliki ketahanan sosial yang tinggi, ditandai dengan tingkat konflik yang rendah.
Kegiatan Belajar 3
Dimensi Desentralisasi

Dalam kepustakaan Amerika Serikat, Harold F. Alderfer [20](1964 : 176) mengungkapkan bahwa terdapat dua prinsip umum dalam membedakan bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan kekuasaannya ke bawah. Pertama, dalam bentuk deconcentration yang semata-mata menyusun unit administrasi atau field stations, baik itu tunggal ataupun ada dalam hirarki, baik itu terpisah maupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-badan pusat memiliki semua  kekuasaan dalam dirinya, sementara pejabat lokal merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah. Kedua, dalam bentuk desentralisasi, dimana unit-unit lokal ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu. Mereka dapat menjalankan penilaian, inisiatif dan pemerintahannya sendiri.
Selain itu dalam khazanah Inggris, desentralisasi dapat dimengerti dalam dua jenis yang berbeda menurut Conyers[21] (1983 : 102) yang mendasarkan pada berbagai literatur berbahasa Inggris, yakni devolution yang menunjuk pada kewenangan politik yang ditetapkan secara legal dan dipilih secara lokal; dan deconcentration yang menunjuk pada kewenangan administratif yang diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat.
Bagaimana Conyers[22] (1986 : 89) membagi jenis desentralisasi ini dan untuk menentukan suatu negara berdasar pada jenis yang mana tampaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan aktivitas fungsional dari kewenangan yang ditransfer, jenis kewenangan atau kekuasaan yang ditransfer pada setiap aktivitas fungsional, tingkatan atau area kewenangan yang ditransfer, kewenangan atas individu, organisasi, atau badan yang ditransfer pada setiap tingkatan, dan kewenangan ditransfer dengan cara legal ataukah administratif.
Tampaknya apa yang dimaksud decentralization menurut Alderfer menyerupai dengan apa yang disebut sebagai devolution menurut Conyers. Sementara istilah deconcentration yang mereka berdua pergunakan juga menunjuk pada kondisi yang sama.
Pada sisi  lain, Campo dan Sundaram[23] membedakan antara dimensi desentralisasi (dimension of decentralization) dan derajat desentralisasi (degrees of decentralization).  Dimensi desentralisasi mencakup geografi, fungsional, politik/administrative, serta fiskal. Sedangkan dilihat derajatnya, desentralisasi mencakup dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi.
Selanjutnya Rondinelli dan kawan-kawan  mengungkapkan jenis desentralisasi secara lebih luas (dalam Meenakshisundaram, [24]1999: 55-56), yakni mencakup : deconcentration (penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau badan pemerintah), delegation (perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi di luar struktur birokrasi reguler dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat), devolution (pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat), dan privatization (memberikan semua tanggung jawab atas ftmgsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah).
Rondinelli, McCullough, & Johnson [25](1989) sendiri bahkan mengungkapkan bahwa bentuk desentralisasi ada lima macam, yakni privatization, deregulation of private service provision, devolution to local government, delegation to public enterprtses or publicly regulated private enterprises, and deconcentration of central government bureaucracy. Pengertian desentralisasi tersebut menyerupai jenis desentralisasi yang diungkapkan oleh Cohen & Peterson [26](1999) yang terbagi dalam deconcentration, devolution, dan delegation (yang mencakup pula privatization). Jika semula privatisasi berdiri sendiri, kini Cohen dan Peterson justru memasukkannya sebagai bagian dari delegasi. Pembedaan ini didasarkan pada enam pendekatan, yakni : pembedaan berdasar asal mula sejarah, berdasarkan hirarki dan fungsi, berdasarkan masalah yang diatasi dan nilai dari para investigatornya, berdasar pola struktur dan fungsi administrasi, berdasar pada pengalaman negara tertentu, dan yang terakhir berdasar pada berbagai tujuan politik, spasial, pasar, dan administrasi.
Hoessein [27](2001b) mengungkapkan bahwa devolution dalam khazanah Inggris tersebut merupakan padanan kata political decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan staatskundige decentralisatie dalam pustaka Belanda. Sementara deconcentration dalam khazanah Inggris merupakan padanan dari administrattve decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan ambtelyke atau administratieve
decentralisatie dalam khazanah Belanda. Dari perspektif pemerintahan Indonesia, devolution merupakan padanan dari desentralisasi, deconcentration merupakan padanan dari dekonsentrasi, dan delegation adalah padanan dari desentralisasi fungsional.
Selain itu, dalam perkembangan sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, mulai dari masa Hindia Belanda sampai Indonesia modern telah dikenal pula beberapa jenis desentralisasi dalam arti luas. Selain desentralisasi dalam arti sempit (devolution, political decentralization) dan dekonsentrasi yang telah banyak diulas di atas, dikenal pula jenis mede bewind dan vrij bestuur(Sinjal,[28] 2001). Mede bewind biasanya diartikan sebagai tugas pembantuan yang berarti hak menjalankan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu (The Liang Gie,[29] 1965 : 112). Rohdewohld [30](1995: 55) mengungkapkan makna yang hampir sama tentang mede bewind namun dengan bahasa yang berbeda sebagai fungsi tertentu yang berada di bawah yurisdiksi pemerintah pusat yang dijalankan oleh unit administrasi pemerintah daerah otonom atas perintah pemerintah pusat. Pemerintah pusat tetap mempertahankan yurisdiksinya dalam hal perencanaan dan pendanaannya. Vrij bestuur dapat diartikan kalau ada keragu-raguan tentang siapa yang berwenang terhadap suatu masalah maka daerah terdekatlah yang mengambil wewenang itu (Sinjal,[31] 2001). Dasar pemikiran timbulnya vrij bestuur ini adalah karena kewenangan dapat dirinci satu per satu, tetapi tidak ada satu pun undang-undang yang mampu memprediksi masalah-masalah kemasyarakatan yang berkembang sangat dinamis sehingga bila ada kevakuman kewenangan penanganan masalah tertentu maka dengan azas vrij bestuur ini diharapkan ada kepastian jalan keluamya segera.

               


  Kegiatan Belajar 4
Derajat Desentralisasi

Perdebatan teoritis tentang konsep desentralisasi akhirnya sampai juga kepada perdebatan tentang derajat desentralisasi yang dewasa ini telah merambah kedalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di berbagai belahan dunia. Kini wujudnya berupa bentuk pro dan kotra terhadap kebijakan desentralisasi pemerintahan. Tetapi gerakan desentralisasi justru semakin meluas dan ekstensif termasuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah bagimana mengukur derajat desentralisasi itu sehingga dapat mengetahui derajat desentraliasi sistem pemerintahan suatu negara.
Bukan suatu hal mudah memang untuk menentukan apakah suatu negara lebih desentralisasi dibandingkan dengan negara lainnya karena memang ada tiga persoalan teoritis seperti diungkap James Fesler (1965) sebagaimana dikutip Smith[32] (1985;84), dalam menentukan derajat desentralisasi. Persoalan tersebut adalah : pertama, persoalan bahasa ketika istilah setralisasi dan desentralisasi telah mendikotomi pikiran kita; kedua, persoalan pengukuran dan kelemahan indeks desentralisasi; ketiga, persoalan membedakan desentralisasi antar wilayah dari suatu negara. Tetapi tampaknya derajat desentralisasi tetap dapat disusun berdasarkan faktor-faktor tertentu meskipun masih mengandung perdebatan.
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menyusun derajat desentralisasi dikemukakan oleh Khairul Muluk[33] (2009, 24 – 25) dengan mengemukakan; pertama, derajat desentralisasi dapat dilihat dari fungsi atau urusan yang dijalankan oleh pememrintah daerah. Semakin banyak fungsi yang didesentralisasikan maka semakin tinggi pula derajat desentralisasinya. Kedua, adalah jenis pendelegasian fungsi, ada dua jenis pendelegasian fungsi yakni; open-end arrangement atau general competence dan ultra-vires doctrine. Jika suatu pemerintah daerah memiliki fungsi atas tipe pendelegasian general competence maka dapat dianggap derajat desentralisasinya lebih besar. Ketiga, adalah jenis kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Kontrol represif derajat desentralisasinya lebih besar ketimbang kontrol yang bersifat preventif.
Faktor yang keempat, adalah berkaitan dengan keuangan daerah yang menyangkut sejauh mana adanya desentralisasi pengambilan keputusan baik tentang penerimaan maupun pengeluaran pemerintah daerah. Kelima, adalah tentang metode pembentukan pemerintahan daerah. Derajat desentralisasi akan lebih tinggi jika sumber otoritas daerah berasal dari ketetapan legislatif ketimbang pendelegasian dari eksekutif. Keenam, adalah derajat ketergantungan finasial pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. semain besar presentasi bantuan pemerintah pusat dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD) maka semakin besar ketergantungan daerah tersebut secara finasil terhadap pusat. ini berari bahwa derajat desentralisasinya lebih rendah. Ketujuh, adalah besarnya wilayah pemerintahan daerah. Ada anggapan bahwa semakin luas wilayahnya maka semakin besar derajat desentralisanya karena pemerintah daerah lebih dapat mengatasi persoalan dominasi pusat atas daerah. Namun demikian, hubungan antara besaran wilayah de ngan kontrol yang masih terbuka untuk diperdebatkan.
Faktor kedelapan, adalah politik partai. Jika perpolitikan di tingkat lokal masih didominasi organisasi politik tingkat nasional maka derajat desentralisasinya dinggap lebih rendah jika dibandingkan dengan jika perpolitikan tingkat lokal lebih didominasi oleh organisasi politik lokal dan lebih mandiri dari organisasi politik nasional. Sedangkan faktor lainnya adalah struktur dari sistem pemerintahan desentralistik. Sistem pemerintahan yang sederhana dianggap memiliki derajat desentralisasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan yang lebih kompleks.
Aspek lain yang dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan derajat desentralisasi adalah menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu. Ada tinga tingkatan desentralisasi jika kita berbicara tentang kekuasaan. Pertama, pada tingkat wilayah (desentralisasi negara kesatuan) atau negara bagian (desentralisasi negera federal) dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih. Kedua, pada tingkatan distrik atau yang setara dengan jumlah penduduk  50.000 – 200.000. Ketiga, pada tingkatan desa atau masyarakat. Disinilah hakekat desentralisasi itu sebenarnya, karena pada tingkatan inilah masyarakat bersentuhan langsung dengan para pemimpin yang akan memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh mereka. 
Kebijakan desntralisasi  yang dijalankan di Indonesia sesuai UU No. 22 tahun 1999 tidak lagi menggunakan istilah tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah kini bersifat coordinate dan independent. Distribusi fungsi diberikan pada provinsi atau pada tingkatan pertama dalam pembagianm diatas dan kabupaten/kota yang setara dengan tingkatan kedua dalam pembagian diatas. Selain itu UU No. 22 tahun 1999 ini juga mengatur tentang distribusi fungsi  pada pemerintahan desa yang setara dengan tingkatan ketiga dalam pembagian di atas. Tetapi dalam pelaksanaanya distribusi fungsi pada pemerintahan desa dijalankan di bawah subordinasi dan bergantung pada daerah kabupaten/kota. Hal yang sama juga masih diberlakukan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 tahun 1999.




























[1] Huntington, Samuel P, 1993. The Third Wave : Democratization in The Late Twentieth Century. University of Oklahoma Press. USA.
[2] The World Bank, Independent Evaluation Group. 2008.Decentralization in Client  Countries  – An Evaluation of World Bank Support, 1999-2007,  halaman xi



[3] Litvack & Seddon. 1999, halaman 2
[4] Rondinelli & Cheema. 1983, hal 18.
[5] Mc. Gregor, David.
[6] Pamudji, S,
[7] Pamudji, S. op cit
[8] Benyamin Hussein, 1993, op cit halaman 12.
[9] United Nations, 1961,
[10] Ibid, halaman
[12] Conyers,
[13] Smith,
[14] Benyamin Hussein, 2000.
[15] Benyamin Hussein, 200a
[16] Norton
[17] Antoft & Novack
[18] Stokker,
[19] Campo, S.Schiavo and P.S.A Sundaram.2001. To Serve and To Preserve : Improving Public Administration in A Competitive World. Asian Development Bank. Philippines, halaman 155.
[20]Alderfer
[21] Conyers, 1983
[22] Conyers, 1986
[23] Campo and Sundaram, op cit. hal 156 sd 159.
[26] Cohen & Peterson
[27] Benyamin Hoessein, 2001b.
[28] Sinjal, 2001.
[29] The Liang Gie, 1965
[30] Rohdewold, 1995
[31] Sinjal, op cit
[32] Smith, op cit
[33] Khairul Muluk, 2009.