Laman

Selasa, 31 Desember 2013

FILOSOFI DAN METODE PENELITIAN SOSIAL

A.   FILOSOFI PENELITIAN SOSIAL

Setiap kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan selalu berlandaskan filosofi. Hakikat filosofi adalah kebenaran yang diperoleh melalui berpikir logis, sistematis, metodis.

Kebenaran adalah kenyataan apa adanya yang sesuai dengan logika sehat. Kebenaran juga sekaligus menjadi tujuan pengembangan ilmu pengetahuan karena bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Berpikir logis adalah berpikir secara bernalar menurut logika yang diakui ilmu pengetahuan dengan bebas sedalam-dalamnya sampai ke dasar permasalahan guna mengungkapkan kebenaran.

Sistematis adalah berpikir dan berbuat yang bersistem, yaitu runtun, berurutan, tidak tumpang tindih. Metodis adalah berpikir dan berbuat menurut metode tertentu yang kebenarannya diakui menurut penalaran.

Penelitian sosial merupakan proses kegiatan mengungkapkan secara logis, sistematis, dan metodis gejala sosial yang terjadi di sekitar kita untuk direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Kebenaran dimaksud adalah keteraturan yang menciptakan keamanan, ketertiban, keseimbangan, dan kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanaan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat memerlukan peningkatan kemampuan meneliti bagi dosen ilmu-ilmu sosial.
Kemampuan meneliti tersebut terutama diarahkan kepada tiga manfaat, yaitu:


1.    Pengembangan institusi, dilaksanakan melalui kegiatan penelitian sosial yang dilakukan oleh dosen yunior.
2.    Inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi), dilaksanakan melalui kegiatan penelitian sosial yang dilakukan oleh dosen senior.
3.    Pemecahan masalah, dilaksanakan melalui kegiatan penelitian sosial yang dilakukan secara kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah, swasta dan industri.

Filosofi penelitian sosial mendasari kegiatan ilmiah yang berupaya mencari kebenaran hakiki dari setiap gejala sosial yang ada.

Sebagaimana dikemukakan oleh Theo Huijbers, filosofi adalah kegiatan intelektual yang metodis dan sistematis, secara refleksi menangkap makna yang hakiki dari keseluruhan yang ada.
Objek filosofi bersifat universal mencakup segala yang dialami manusia.

Berpikir filosofi adalah mencari arti yang sebenarnya dari segala hal yang ada melalui pandangan cakrawala paling luas. Metode pemikiran filosofi adalah refleksi atas pengalaman dan pengertian tentang suatu hal dalam cakrawala yang universal.

Pengolahan pikirannya secara metodis dan sistematis.Tujuannya
adalah kebenaran yang menyejahterakan masyarakat.

Berasarkan pandangan tersebut, maka dapat dirinci unsur-unsur penting filosofi yang mendasari penelitian sosial sebagai kegiatan ilmiah, yaitu:

1  Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum. Penerbit Kanisius.
    Yogyakarta. Hlm. 15, bahwa:



1. kegiatan intelektual (pemikiran);
2. mencari makna yang hakiki (interpretasi);
3. segala fakta dan gejala (objek);
4. dengan cara refleksi, metodis, sistematis (metode);
5. untuk kebahagiaan masyarakat (tujuan).

Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian sosial juga memiliki ciri-ciri sebagaimana dijelaskan oleh Soedjono Dirdjosisworo sebagai berikut:
1.    Sistematis artinya bahasan tersusun secara teratur, berurutan
menurut sistem.
2.    Logis artinya sesuai dengan logika, masuk akal, benar menurut  penanalaran
3.    Empiris artinya diperoleh dari pengalaman, penemuan,
pengamatan.
4.    Metodis artinya berdasarkan metode yang kebenarannya diakui oleh penalaran.
5.    Umum artinya menggeneralisasi, meliputi keseluruhan tidak menyangkut  yang khusus saja.
6.    Akumulatif artinya bertambah terus, makin berkembang, dinamis.

Penelitian sosial sebagai kegiatan ilmiah dilakukan terus-menerus guna mengungkapkan kebenaran sesungguhnya dari objek yang diteliti. Kebenaran yang sesungguhnya itu bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Kebenaran objek yang diteliti menjadi dasar keteraturan yang menciptakan keamanan, ketertiban, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.

Harsja Bachtiar mengemukakan dua kategori keteraturan dari objek yang diteliti, yaitu:


1.    Keteraturan alam semesta selalu berkualitas 100% benar karena keteraturan itu tetap, tidak berubah, sehingga metode penelitiannya pun tepat. Ini terdapat pada ilmu-ilmu eksakta, seperti astronomi, fisika, kimia, biologi, kedokteran.
2.    Keteraturan hubungan antarmanusia dalam hidup bermasyarakat. Untuk mengungkapkan kebenaran keteraturan tersebut dipinjam metode penelitian ilmu eksakta, ternyata hasil penelitiannya tidak selalu 100% benar, melainkan hanya mendekati kebenaran karena keteraturan dalam hubungan hidup bermasyarakat itu dapat berubah dari saat ke saat sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.
Ini terdapat pada ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, hukum, politik, sosiologi, demografi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa perkembangan ilmu sosial selalu dilandasi oleh kebenaran yang relatif, keteraturan yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, ketidakpuasan terhadap keadaan yang ada, keingintahuan terus-menerus, yang ditelaah bukan kuantitas, melainkan kualitas dari gejala sosial yang ada (terjadi).

(Soedjono Dirdjosisworo. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Rajawali. Jakarta. Hlm. 5 dan Harsja Bachtiar. 1981. Penggolongan Ilmu Pengetahuan. Depdikbud. Jakarta).

DASAR PENELITIAN SOSIAL
Keingintahuan
Karena masyarakat itu berkembang, maka ilmu sosial juga berkembang, namun perkembangan tersebut tidak dapat diketahui
secara pasti sebagai hal yang baru.
Oleh sebab itu, lalu dilakukan upaya tertentu untuk memperoleh pengetahuan baru.


Apa yang mendorong orang sehingga berkehendak memperoleh pengetahuan baru tentang gejala sosial? Faktor pendorong tersebut adalah keingintahuan (curiousity). Keingintahuan itu muncul karena ketidakpuasan terhadap gejala sosial yang ada.

Untuk memperoleh jawaban dari keingintahuan tersebut, orang perlu melakukan kegiatan yang menggunakan metode yang diakui secara keilmuan. Kegiatan yang dimaksud disebut penelitian sosial.

Penelitian adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris research yang terdiri dari re artinya ulang dan search artinya mencari. Jadi, research atau penelitian itu adalah kegiatan mencari ulang, mengungkapkan kembali gejala, kenyataan yang sudah ada untuk direkonstruksi dan diberi arti guna memperoleh kebenaran yang dimasalahkan.

Ungkapan kembali itu didasari oleh keingintahuan
tentang keadaan gejala sosial yang dijadikan masalah, misalnya:
a.    Maraknya prostitusi dalam masyarakat perkotaan di Indonesia kini akibat pengaruh kesulitan ekonomi. Informasi gejala sosial: Indonesia menduduki urutan kedua bisnis prostitusi dengan omzet penghasilan rata-rata per tahun Rp11 triliun.
Gejala pendukung: di tempat hiburan malam, di hotel-hotel, di panti pijat, ada PSK walaupun tersembunyi.
b.    Maraknya perjudian dalam masyarakat kini akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah. Informasi gejala sosial: Jakarta adalah salah satu kota besar bisnis perjudian dengan omzet penghasilan rata-rata per tahun Rp 40 triliun.
Gejala pendukung: di pusat-pusat hiburan, di media elektronik, di hotel-hotel, ada pertaruhan dengan menggunakan uang, menonton sepak bola menggunakan taruhan uang dari jumlah kecil hingga jumlah besar.

c.     Semrawutnya lalu lintas di kota Bandar Lampung akibat rendahnya kesadaran hukum pengemudi angkot.
Informasi gejala sosial: jalan raya dijadikan tempat parkir kendaraan bermotor, tempat dagang kaki lima, tempat dagang asongan, jumlah angkot makin bertambah setiap tahun.
d.    Makin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga, makin rendah tingkat perilaku menyimpang oleh anggota keluarga yang bersangkutan.
Informasi gejala sosial: Di kalangan masyarakat kaya (the haves) justru banyak terjadi perilaku mabukmabukan, prostitusi, narkoba. Di kalangan selebritis justru banyak terjadi kehancuran rumah tangga akibat perceraian suami isteri (broken home).
e.    Merajalelanya korupsi di kalangan pejabat negara akibat lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Informasi gejala sosial: pejabat korup cenderung bebas dari tuntutan hukum atau memperoleh hukuman lebih ringan. Pejabat korup sulit diberhentikan dari pegawai negeri sipil (PNS).

Karena penelitian itu menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat, maka  disebut penelitian sosial.



Penelitian sosial menggunakan metode ilmiah yang sesuai dengan bidang ilmu sosial yang diteliti. Untuk itu mutlak diperlukan penguasaan ilmu sosial yang bersangkutan dengan baik.
Misalnya, penelitian bidang hukum, ekonomi, sosiologi, psikologi, antropoligi sosial harus didukung oleh penguasaan dengan baik bidang ilmu yang bersangkutan.

Ilmu adalah produk dari proses berpikir logis yang didukung oleh fakta empiris. Penguasaan ilmu sosial dengan baik merupakan modal dasar melakukan penelitian sosial guna memperoleh penge-
tahuan atau temuan baru di bidang ilmu sosial.

Proses Berpikir Logis
Dalam kegiatan penelitian sosial dikenal dua proses berpikir, yaitu proses berpikir logis dan proses berpikir kausalitas.
Proses berpikir logis dibedakan lagi menjadi proses berpikir induktif dan proses berpikir deduktif. Kedua proses berpikir tersebut dijelaskan dengan contoh-contoh dalam uraian berikut.

a. Proses berpikir induktif
Proses berpikir Induktif adalah suatu proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari kasus yang bersifat khusus (individual).
Proses berpikir induktif dimulai dari pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas, yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir induktif merupakan esensi dari fakta-fakta yang dikumpulkan.

Contoh:
Berdasarkan statistik tahun 2001 di Kabupaten Lampung Selatan tingkat pendapatan penduduk umumnya rendah, sehingga sedikit jumlah penduduk yang mampu membayar premi asuransi jiwa.

Demikian juga di Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Way Kanan terdapat kondisi yang sama dengan Kabupaten Lampung Selatan. Tetapi di Kota Bandar Lampung yang pendapatan per kapita cukup tinggi, sebagian besar penduduk mengadakan asuransi jiwa.
Oleh karena itu, di setiap kabupaten yang tingkat pendapatan penduduknya rendah, asuransi jiwa sulit berkembang.

Proses berpikir induktif memungkinkan penyusunan pengetahuan secara sistematis, yang mengarah kepada beberapa pernyataan yang bersifat fundamental.

Suatu pengetahuan harus diyakini kebenarannya melalui dua tahap
keyakinan, yaitu keyakinan karena tahu (know) dan keyakinan karena pengalaman (empirical).

Keyakinan karena tahu merupakan dasar merumuskan masalah yang diteliti seperti dalam contoh tadi: “Faktor-faktor apakah yang
menjadi penyebab sulitnya asuransi jiwa berkembang di beberapa kabupaten dalam Provinsi Lampung”. Untuk mengetahui hal tersebut kemudian dilakukan penelitian.

Keyakinan karena pengalaman merupakan hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan data empiris yang dikumpulkan dari beberapa lokasi kabupaten di daerah Lampung seperti contoh tadi.

Pernyataan secara sistematis yang bersifat fundamental hasil proses berpikir induktif tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Apabila pertumbuhan ekonomi rendah, tingkat pendapatan penduduk juga rendah.
(2) Makin rendah tingkat pendapatan, makin rendah minat penduduk membayar premi asuransi jiwa.
(3) Di daerah kabupaten yang tingkat pendapatan penduduknya rendah, asuransi jiwa sulit berkembang.
b. Proses berpikir deduktif
Proses berpikir deduktif adalah suatu proses berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.
Proses berpikir deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang disusun dari dua buah pernyataan serta sebuah kesimpulan (silogismus). Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor.

Berdasarkan kedua premis tersebut ditarik kesimpulan.
Contoh: Di setiap kabupaten dalam Provinsi Lampung didirikan Pengadilan Agama (premis mayor). Way Kanan adalah kabupaten yang baru dibentuk (premis minor). adi, di Kabupaten Way Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama (kesimpulan). Ketepatan menarik kesimpulan dalam proses berpikir deduktif tergantung dari tiga hal, yaitu:

(1) kebenaran premis mayor;
(2) kebenaran premis minor;
(3) kebenaran penarikan kesimpulan.

Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru seperti pada contoh tadi: Di Kabupaten Way Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama, pada hakikatnya bukan pengetahuan baru dalam arti sebenarnya, melainkan hanya konsekuensi yang sudah diketahui sebelumnya.

Dengan demikian, semua pengetahuan yang telah dibuktikan kebenarannya secara deduktif tetap benar apabila postulat dan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya dianggap berlaku.

Tetapi mungkin juga pengambilan kesimpulan itu salah. Contoh pengambilan kesimpulan yang salah adalah sebagai berikut:
Di setiap kabupaten dalam Provinsi Lampung perlu didirikan Pengadilan Agama (premis mayor). Di Kabupaten Way Kanan tidak pernah ada perceraian atau sengketa waris Islam (premis minor). Walaupun demikian, di Kabupaten Way Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama (kesimpulan). Di mana letak kesalahan kesimpulan tersebut? Kedua premis berlainan sifat, premis mayor
belum teruji kebenarannya, premis minor adalah fakta yang sudah teruji (tidak ada perceraian atau sengketa waris Islam). Kesimpulan yang diambil bisa benar dan bisa salah. Dikatakan benar apabila sesuai dengan dan diterima oleh logika.

Sebaliknya, dikatakan salah apabila tidak sesuai dengan dan tidak diterima oleh logika. Sudah jelas tidak ada perceraian atau sengketa waris Islam, mengapa perlu didirikan Pengadilan Agama? Seharusnya kesimpulan yang diambil: Di Kabupaten Way Kanan, pendirian Pengadilan Agama perlu ditunda karena masih Pengadilan Agama.

c. Proses Berpikir Kausalitas
Pada dasarnya setiap proses berpikir selalu menghasilkan pernyataan atau pengetahuan yang terdiri dari unsur sebab dan unsur akibat. Unsur sebab adalah peristiwa atau keadaan yang menyatakan mengapa sesuatu itu terjadi atau timbul. Misalnya, mengapa lalu lintas di Bandar Lampung tidak teratur?

Jawabannya adalah: “sebab kesadaran hukum pengemudi rendah”, yang menjadi sebab adalah kesadaran hukum pengemudi rendah. Jadi, yang diungkapkan peneliti bukan tidak teraturnya lalu lintas, melainkan alasan (sebab) tidak teraturnya lalu lintas itulah yang perlu diteliti.

Dalam contoh ini, yang perlu diteliti untuk dibenahi adalah rendahnya kesadaran hukum pengemudi, bagaimana cara meningkatkan kesadaran hukum mereka. Dalam metode penelitian
sosial, unsur sebab ini disebut variabel bebas (independent variable).

Unsur akibat adalah peristiwa atau keadaan baru yang terjadi atau timbul dari peristiwa atau keadaan yang sudah ada lebih dahulu. Akibat selalu terjadi lebih kemudian dari sebab.
Dengan kata lain, jika peristiwa atau keadaan itu tidak ada, maka tidak terjadi atau tidak timbul peristiwa atau keadaan baru.

Akibat adalah hasil dari sebab. Sebagai contoh, “Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya akibat korupsi yang tak terkendali”. Dalam contoh ini, korupsi yang tak terkendali adalah sebab, sedangkan Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya adalah akibat. Apabila kalimat pernyataan tersebut dibuat dalam bentuk aktif, maka pernyataannya lebih jelas: “Korupsi yang tak terkendali
mengakibatkan Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya”.

Dalam metode penelitian sosial, unsur akibat ini disebut variable terikat (dependent variable).

Dalam penelitian sosial kedua jenis variable sebab akibat ini selalu ada dan merupakan fakta atau gejala yang menjadi objek penelitian untuk diungkapkan.
Mungkin unsur sebab yang sudah diketahui lebih dahulu, kemudian baru diteliti unsur akibat yang akan terjadi. Mungkin juga sudah diketahui akibat yang terjadi, kemudian baru diteliti dan diungkapkan sebabnya. Dalam filsafat ilmu, hubungan sebab-akibat (causality) merupakan esensi kegiatan berpikir yang menjadi dasar berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk juga imu sosial.

Pada contoh yang telah dikemukakan di atas: “Lalu lintas di Bandar
Lampung tidak teratur sebab kesadaran hukum pengemudi rendah”. Hal yang akan diungkapkan adalah unsur sebab, yaitu “kesadaran hukum pengemudi rendah”. Untuk itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang termasuk dalam unsur sebab (kesadaran hukum pengemudi rendah). Artinya tinggi rendah tingkat kesadaran hukum pengemudi ditentukan oleh beberapa faktor yang terdapat dalam diri pengemudi, antara lain:
(1) tingkat pendidikannya;
(2) pengetahuan tentang peraturan lalu lintas;
(3) pengetahuan teknis kendaraan bermotor;
(4) memiliki/tidak memiliki SIM;
(5) mobil milik sendiri atau milik pengusaha;
(6) lama pengalaman menjadi sopir, dst.

Faktor-faktor ini disebut variable bebas (independent variables) yang menentukan tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum pengemudi. Faktor-faktor tersebut menjadi dasar penyusunan kuesioner atau pedoman wawancara untuk mengumpulkan data yang menjadi bahan dasar analisis.

3. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif seringkali digunakan dalam penelitian sosial. Hal ini disebabkan gejala sosial seringkali tidak dapat ditunjukkan secara kuantitatif, tidak dapat diukur.

Metodologi penelitian kualitatif adalah suatu upaya yang sistematis dalam penelitian sosial. Termasuk di dalamnya adalah kaidah dan teknik untuk memuaskan keingintahuan peneliti pada suatu gejala sosial, atau cara untuk menemukan kebenaran dalam memperoleh pengetahuan baru.

Penelitian kualitatif biasanya dimulai dengan suatu pertanyaan penilaian  mengenai suatu hal, misalnya:

a. Mengapa sering terjadi kemacetan lalu lintas di kota Jakarta?
b. Mengapa perusahaan asuransi jiwa sulit berkembang di
    Kabupaten Lamsel?
c. Mengapa pejabat cenderung ingin melakukan korupsi padahal itu
    melanggar hukum?
d. Mengapa orang ingin mengonsumsi narkoba padahal dia tahu
    barang itu sangat berbahaya bagi kesehatan dirinya?

e.    Mengapa interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat cenderung berubah menjadi anarkhis?

Penelitian kualitatif merupakan alat untuk melihat sejauh mana suatu proses terjadi pada gejala sosial. Penelitian kualitatif pada umumnya menilai fakta atau gejala sosial yang diteliti tidak menggunakan angka, melainkan cukup menggunakan standar mutu atau kualitas yang dinyatakan dengan kata kata, misalnya:

a. rendah, sedang, tinggi;
b. kurang, cukup, banyak;
c. jelek, bagus, bagus sekali;
d. sebagian kecil, sebagian besar, pada umumnya.

Karena menggunakan penilaian relatif atau tidak pasti, maka ada yang mengatakan hasil penelitian kualitatif itu tidak objektif. Untuk menghindari hal itu, maka diupayakan tidak hanya menggunakan analisis kualitatif, tetapi juga analisis kuantitatif.

Penelitian kualitatif pada umumnya mempunyai ciri-ciri berikut ini:
a. Penyusunan proposal lebih mudah dengan variabel sederhana.
b. Alat pengumpul data sudah disusun lebih dahulu.
c. Bila menggunakan sampel dapat secara purposive.
d. Fakta (data) diperoleh langsung dari sumber pertama.
e. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

(Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Penerbit Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm. 6-14)



C. PENELITIAN SOSIAL
1. Penelitian Sosial Sebagai Kegiatan Ilmiah
Penelitian sosial merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala sosial tertentu, dengan jalan menganalisisnya.
Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta sosial tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian ini, dapat dinyatakan bahwa penelitian sosial dianggap sebagai penelitian ilmiah apabila memenuhi kriteria berikut:
a.    didasarkan pada metode, sistematika, dan logika berpikir
tertentu;
b.    bertujuan untuk mempelajari gejala sosial tertentu (data primer);
c.     guna mencari solusi atas permasalahan yang timbul dari gejala yang diteliti  tersebut.

Penelitian sosial didasarkan pada metode, artinya semua kegiatan yang meliputi persiapan penelitian, proses penelitian, dan hasil penelitian menggunakan cara-cara yang secara umum diakui dan berlaku pada ilmu pengetahuan.

Kegiatan persiapan penelitian umumnya didahului dengan studi pustaka untuk menemukan konsep-konsep, teori-teori diteruskan observasi di lapangan untuk menjajagi gejala-gejala sosial yang akan dijadikan dasar perumusan masalah dan tujuan serta strategi penelitian.

Semuanya ini kemudian dituangkan dalam bentuk proposal penelitian.

Proses penelitian merupakan kegiatan pelaksanaan penelitian berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu, meliputi pengumpulan data sekunder dari perpustakaan (buku-buku literatur), dari perkantoran (arsip, dokumen) dan pengumpulan data primer dari lapangan (lokasi penelitian).

Setelah data terkumpul, diteruskan dengan kegiatan pengolahan data dan analisis data. Hasil penelitian tersebut kemudian ditulis dalam bentuk laporan penelitian sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah yang siap untuk dipublikasikan.

Laporan penelitian berupa karya ilmiah tersebut dapat berbentuk laporan jurnal penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi.

Penelitian sosial selalu didasarkan pada sistem, yang memiliki unsur-unsur sistem, yaitu subjek penelitian, objek penelitian, perilaku (kegiatan) penelitian, hasil penelitian, dan publikasi hasil penelitian. Setiap unsur sistem tersebut dikerjakan berdasarkan sistematika tertentu, baik format maupun substansi, seperti klasifikasi, penggolongan, penandaan, urutan penyajian, analisis, dan interpretasi. Penelitian didasarkan pada logika berpikir tertentu, yaitu logika berpikir kausalitas (sebab-akibat) dalam melakukan analisis data, logika berpikir deduktif atau induktif dalam pengambilan kesimpulan.

Penelitian sosial selalu mempunyai tujuan tertentu, baik tujuan proses maupun tujuan akhir. Tujuan proses misalnya “menganalisis data yang diperoleh guna membuktikan suatu peristiwa sosial sudah dilakukan atau tidak dilakukan”, sedangkan tujuan akhir adalah hasil yang diperoleh berdasarkan tujuan proses.

(Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Hlm. 43)



Tujuan akhir misalnya “memperoleh gambaran lengkap tentang norma sosial yang berlaku pada komunitas tertentu di suatu wilayah tertentu”, atau “pembeli memiliki barang yang dibelinya dan penjual memperoleh pembayaran harga barang yang dijualnya sesuai dengan perjanjian”, atau “memperoleh data lengkap mengenai tindak kekerasan suami terhadap istri dalam kehidupan
keluarga di kota besar selama tahun 2005”.

Tujuan yang dicapai dalam penelitian sosial merupakan solusi atas masalah yang diteliti.

2. Strategi (Pendekatan) Penelitian Sosial
Walaupun bidang ilmu sosial terdiri dari beberapa subbidang ilmu, tidak berarti strategi penelitiannya akan berbeda sama sekali antara satu sama lain.
Strategi penelitian sosial yang digunakan pada subbidang ilmu sosial selalu ada kesamaan dengan strategi penelitian subbidang ilmu sosial yang lain. Strategi penelitian merupakan cara pendekatan untuk menyelesaikan atau memecahkan atau mencari solusi yang efektif dan efisien terhadap masalah penelitian yang telah dirumuskan, sehingga mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Menurut Robert K. Yin, dalam penelitian sosial ada beberapa strategi yang dapat digunakan, yaitu survei, studi kasus, eksperimen, sejarah, analisis arsip.

Pada penelitian sosial, strategi penelitian (pendekatan masalah) yang umum digunakan adalah pendekatan studi kasus dan survei.

Dalam uraian berikutnya, strategi penelitian sosial yang diutamakan untuk dibahas dibatasi hanya pada pendekatan studi kasus dan pendekatan survei, dengan alasan studi kasus menggunakan logika berpikir induktif, sedangkan survei menggunakan logika berpikir deduktif.
2.1 Pendekatan Studi Kasus
Pada penelitian sosial, strategi (pendekatan masalah) yang sangat penting dan dominan adalah studi kasus (case study). Dalam hal ini, kasus dikonsepkan sebagai peristiwa yang berupa rangkaian perilaku nyata, misalnya perjanjian jual beli, pembunuhan seseorang, upacara pernikahan, kecelakaan lalu lintas, kinerja DPRD Kabupaten/Kota, sewa guna usaha (leasing), tindak kekerasan suami terhadap istri dalam kehidupan keluarga, pembagian harta warisan pada masyarakat patrilineal, dll.

Dalam konteks studi kasus, ada tiga tipe studi kasus, yaitu studi kasus non-yudisial, studi kasus yudisial, studi kasus langsung (live case study):

a. Studi kasus non-yudisial (non-judicial case study), yaitu studi kasus tanpa konflik yang tidak melibatkan pengadilan. Kalaupun ada konflik, diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri secara damai.
b. Studi kasus yudisial (judicial case study), yaitu studi kasus karena konflik yang kemudian diselesaikan melalui putusan pengadilan.
c. Studi kasus langsung (live case study), yaitu studi kasus yang masih berlangsung dari awal kegiatan hingga berakhir, misalnya pengangkutan niaga yang sedang berlangsung diteliti proses berlakunya sejak pemberangkatan hingga berakhir di tempat tujuan.

Dipandang dari segi karakteristik kasus yang menjadi objek penelitian, studi kasus dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

a. Studi kasus tunggal(single-case study)
Tipe studi kasus tunggal digunakan apabila kasus yang banyak itu mempunyai kriteria atau karakteristik yang sama, sehingga cukup diambil satu kasus saja. Dengan mengkaji satu kasus, maka semua kasus yang mempunyai kriteria atau karakteristik yang sama itu sudah terwakili.

Studi kasus tunggal dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga. Contoh studi kasus tunggal antara lain adalah studi kasus perjanjian kredit mikro antara usaha kecil dengan bank karena karakteristiknya sama.

b. Studi kasus ganda (multi-case study)
Tipe studi kasus ganda digunakan apabila ada beberapa kasus yang mempunyai kriteria berbeda, sehingga perlu diambil semua kasus atau beberapa kasus yang mewakili semua kasus yang sejenis, secara purposive.

Studi kasus ganda lebih rumit dan makan biaya, waktu, dan tenaga lebih banyak. Contoh: Studi kasus pembiayaan melalui kredit yang disalurkan oleh bank kepada pengusaha dan studi kasus pembiayaan melalui modal ventura yang disalurkan oleh perusahaan modal ventura kepada pengusaha. Mana yang lebih menguntungkan?

Contoh lagi: jika ada 100 kasus penyaluran kredit bank berdasarkan
perjanjian kredit biasa dan kredit mikro, maka secara purposive dapat diambil satu perjanjian kredit biasa dan satu perjanjian kredit mikro yang mewakili masing-masing jenis kredit yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian.

Dalam konteks studi kasus, metode analisis yang banyak digunakan
adalah content analysis, yaitu menguraikan materi peristiwa sosial secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan.

Ada dua tipe content analysis, yaitu tinjauan kritis (critical review) dan analisis kritis (critical analysis).

2.1.1 Tinjauan kritis (critical review)
Pada tipe ini, peneliti bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek normatif yang diteliti guna mencari dan menemukan alasan pembenaran atau penolakan suatu produk perilaku. Pada tipe ini, peneliti melakukan analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan segi negatif dan segi positif suatu produk perilaku.

Contoh
produk perilaku, yaitu:
a. Tindak kekerasan terhadap anggota masyarakat dari kelompok tertentu, akibatnya terjadi tawuran antar kelompok.
b. Ambisi politik segelintir orang lalu membentuk provinsi baru di Papua sehingga menimbulkan reaksi keras penolakan dari masyarakat yang tidak setuju.
c. Kenaikan harga BBM yang dianggap menyengsarakan masyarakat, akibatnya timbul reaksi demonstrasi massa di mana-mana.

Hasil tinjauan kritis itu dapat mengakibatkan pembenaran produk perilaku sehingga dapat menenteramkan masyarakat. Atau sebaliknya mengakibatkan penolakan produk perilaku karena meresahkan masyarakat. Pembenaran yang dapat menenteramkan masyarakat merupakan segi positif produk perilaku.

Sedangkan penolakan karena meresahkan masyarakat merupakan segi negatif produk perilaku, yaitu menunjukkan perilaku cacat moral, mudharat, yaitu dianggap tidak manusiawi, merugikan masyarakat lapisan bawah, merendahkan martabat kelompok masyarakat marginal. Keadaan cacat moral itu akan mengakibatkan ketidakstabilan, ketidaktertiban, ketidakpastian yang merugikan
masyarakat, pihak-pihak, bahkan negara sendiri.

Hasil tinjauan kritis akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan (decision maker), perancang undang-undang (legal drafter), serta menjadi acuan kajian bagi pendidikan ilmu-ilmu sosial, penelitian sosial, dan penyuluhan kepada masyarakat.


2.1.2 Analisis kritis (critical analysis)
Tipe analisis kritis menduduki gradasi yang lebih tinggi daripada tinjauan kritis. Apabila tinjauan kritis lebih menitikberatkan pada produk perilaku, maka analisis kritis tidak hanya produk perilaku melainkan juga sumber produk perilaku dengan segala motivasinya dari lapisan masyarakat bawah (grassroots) sampai pada lapisan atas atau penguasa lokal dan nasional. Pada tipe ini, peneliti sosial
bertujuan untuk mengungkapkan lebih komprehensif tentang segi negatif (cacat perilaku) dan juga segi positif (keunggulan) suatu produk perilaku untuk dijadikan bahan menyusunan undang-undang, dasar pengambilan keputusan, sehingga diperoleh gambaran komprehensif (comprehensive analysis), tidak hanya dari
belakang meja kerja, tetapi juga dari lapangan, yaitu lapisan masyarakat secara keseluruhan.

Contoh: Analisis kritis pemanfaatan tenaga kerja, analisis kritis pengolahan sampah perkotaan, analisis kritis cara mengatasi masalah penyakit  masyarakat (PSK, gepeng, perjudian, miras, dll).

Tipe analisis kritis mengkaji dengan cermat apakah suatu peristiwa sosial, atau produk perilaku berakar pada masyarakat, sehingga didukung dan diterima oleh masyarakat karena dirasakan benar dan adil, atau sebaliknya ditolak masyarakat karena tidak benar, tidak adil, merugikan masyarakat.

Pada tipe ini, peneliti mengungkapkan tidak hanya segi negatif, tetapi juga segi positif berupa keunggulan dan kelebihan (secara filosofis, yuridis, sosiolgis) dan sekaligus menunjukkan solusi terbaik dan tepat yang perlu dilakukan oleh pengambil keputusan, pembuat undang-undang, tokoh masyarakat.

Contoh kasus mencolok
dalam masyarakat dewasa ini adalah kasus sengketa tanah di kota dan di desa, kasus pemekaran daerah otonom di Irian Jaya yang mengakibatkan perang suku antara yang pro dan kontra.
Tipe analisis kritis adalah tipe kajian yang paling berbobot dari segi
akademik dan segi praktis, teknik perundang-undangan karena kondisi objektif dan nyata di lapangan dijadikan bahan kajian dan analisis.

Tipe ini bermanfaat bagi pengambil keputusan, perancang undang-undang, pendidikan dan praktisi sosial, dan penyuluh masyarakat di lapangan.

Karakteristik dari studi kasus adalah data yang dianalisis hanya data yang bersumber dari kasus yang dijadikan objek penelitian, peneliti tidak boleh menggunakan data di luar kasus yang bersangkutan.

Dalam studi kasus, pengambilan kesimpulan dilakukan secara induktif, artinya dari fakta kongkrit digeneralisasikan secara abstrak kepada kasus yang sejenis. Hasil penelitian studi kasus lebih akurat dan realistik daripada hasil penelitian survei, dapat dijadikan acuan pengambilan keputusan, dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek).

Dalam konteks penelitian sosial, ada dua tipe perilaku yang menjadi objek penelitian, yaitu:
a. Perilaku berpola (patterned behaviour)
Perilaku berpola biasanya terdapat dalam kelompok masyarakat, sifatnya seremonial seperti upacara kelahiran, perkawinan, kematian, keagamaan, pertanian.

b. Perilaku tidak berpola (unpatterned behaviour)
Perilaku tidak berpola biasanya terdapat dalam hubungan antara pribadi atau individu dalam masyarakat, misalnya jual beli kredit kebutuhan sehari-hari, keagenan dalam kegiatan bisnis, tolong-menolong membuat rumah, panenan, mengatasi masalah korban bencana alam. Juga dalam hubungan rakyat dengan penguasa, misalnya penggusuran PKL, PSK, perjudian, miras, dll.
2.2 Pendekatan Survei
Istilah survei adalah serapan dari kata bahasa Inggris survey, artinya pengamatan atau penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan baik terhadap suatu masalah tertentu dan di dalam suatu daerah tertentu.

Tujuan survei adalah mendapatkan gambaran yang benar tentang suatu gejala sosial atau peristiwa tertentu yang ada atau terjadi di suatu lokasi dalam suatu daerah. Pelaksanaan suatu survei tidaklah semua individu dari populasi itu diteliti, namun hasil yang diharapkan harus menggambarkan sifat populasi ybs.

Oleh karena itu, metode pengambilan sampel (sampling method) dalam suatu survei memegang peranan sangat penting. Metode pengambilan sampel yang tidak benar akan merusak hasil survei itu.

Pada penelitian sosial, pendekatan survei juga banyak digunakan. Contohnya peneliti waris ingin memperoleh gambaran tentang sikap masyarakat patrilineal di Kota Bandar Lampung mengenai porsi pembagian waris antara ahli waris pria dan ahli waris wanita.

Apakah masyarakat cenderung mengikuti sistem pembagian waris yang sama porsinya atau tetap berpegang pada sistem pembagian waris antara ahli waris pria dan ahli waris wanita 2 porsi berbanding 1 porsi.

Survei dapat dilakukan secara individual atau secara kelompok. Menurut van Dalen, dilihat dari wilayah geografis maupun variabelnya, survei dapat luas bahkan sangat luas maupun sempit. Winarno Surakhmad juga mengatakan bahwa pada umumnya survei merupakan cara pengumpulan data dari sejumlah unit atau individu dalam waktu (jangka waktu) yang bersamaan, biasanya jumlahnya cukup besar.

Pada pendekatan survei, jumlah populasi yang begitu besar tidak mungkin diteliti semuanya secara sensus. Oleh karena itu, pemecahan masalah perlu dilakukan melalui beberapa sampel saja yang mewakili seluruh populasi.

Pemilihan sampel perlu dilakukan karena dalam benak peneliti timbul pertanyaan, mungkinkah suatu penelitian dilakukan terhadap seluruh populasi objek penelitian?

Jika mungkin, berapa besar biaya, berapa lama waktu, berapa
banyak pula tenaga yang dibutuhkan? Efisien dan efektifkah penelitian yang demikian?

Akhirnya dicari solusi untuk menghindari besarnya biaya, lamanya
waktu, dan banyaknya tenaga dengan jalan melakukan penelitian hanya terhadap sebagian kecil populasi saja.

Meskipun demikian, sebagian kecil populasi yang dijadikan sampel itu menjadi tolok ukur yang mewakili seluruh populasi. Sampel yang menjadi tolok ukur penelitian memang dapat diandalkan, asalkan pengambilan sampel dilakukan dengan benar dan tepat.

Cara mengambil sebagian kecil dari populasi objek penelitian ini disebut teknik sampling.

Berapa besar sampel yang seharusnya digunakan, sampai saat sekarang kiranya belum ada kesepakatan di antara para peneliti. Namun, dari sifat populasinya dapat ditentukan langkah-langkah penentuan besarnya sampel,
yaitu:
a. Apabila populasi heterogen, sebaiknya diambil sampel yang besar jumlahnya. Makin besar sampel yang diambil, makin mendekati cerminan populasi.
b. Apabila populasi homogen, sampel tidak harus banyak. Namun peneliti tidak begitu saja mengambil sampel terlalu sedikit.  
2.2.1 Probability random sampling
Penentuan sampel dapat dilakukan secara probability random sampling. Penentuan sampel secara probability random sampling didasarkan pada seluruh populasi yang mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel.

Penerapan probability randon sampling biasanya dilandasi pertimbangan bahwa jumlah keseluruhan populasi sudah diketahui dan hasil penelitian dipakai sebagai generalisasi terhadap keseluruhan populasi. Agar generalisasi terhadap keseluruhan
populasi dapat mencapai hasil optimal, sebaiknya ditentukan lebih dahulu jumlah sampel yang diperlukan.

Sebagai contoh, populasi keseluruhan pasangan suami istri (pasutri) sudah diketahui jumlahnya 500 pasutri. Jumlah sampel yang dibutuhkan ditentukan 10%, yaitu 10% x 500 pasutri = 50 pasutri, masing-masing populasi memperoleh kemungkinan menjadi sampel adalah 500 : 50 = 10 : 1 artinya setiap 10 pasutri hanya mungkin menjadi sampel 1 pasutri. Jadi, apabila diambil sampel secara acak (random), maka setiap 10 pasutri diambil 1 pasutri saja.

Sampel 50 pasutri inilah yang akan diinterview sikapnya tentang sistem pembagian warisan dalam masyarakat patrilineal, apakah terjadi kecenderungan anak pria dan anak wanita memperoleh hak waris yang sama bagiannya atau tetap seperti yang sudah berlaku hingga kini, anak pria mendapat 2/3 bagian warisan dan anak wanita mendapat 1/3 bagian warisan, atau boleh pilih satu antara dua porsi tsb.

Penentuan sampel secara probability random sampling dapat dilakukan secara langsung terhadap populasi individu apabila lokasi penelitian tidak begitu luas, misalnya terhadap sejumlah sampel kepala keluarga di lingkungan RT tertentu. Atau dapat juga secara bertingkat menurut wilayahnya apabila lokasi penelitian cukup luas. Tahap pertama penentuan sampel wilayahnya, kemudian baru penentuan sampel penduduk wilayah itu, baik menurut kelompok masyarakat ataupun individu.

Misalnya dalam suatu kabupaten yang terdiri dari beberapa kecamatan diambil satu kecamatan, dalam satu kecamatan yang terdiri dari beberapa desa itu diambil tiga desa tertentu, dari tiga desa tertentu itu diambil beberapa sampel penduduk secara berimbang (proportional).

2.2.2 Purposive sampling
Pengambilan sampel secara purposive sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian. Ukuran sampel tidak dipersoalkan. Sampel yang diambil hanya yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kata lain, sampel yang dihubungi adalah sampel yang sesuai dengan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.

Misalnya, suatu penelitian tentang tata tertib lalu lintas di kota Bandar Lampung. Sampel yang diambil hanya pemilik kendaraan bermotor yang tercatat di kepolisian atau pemilik SIM. Pengumpulan data hanya terbatas pada sampel purposive tersebut, tidak termasuk pengendara yang mungkin bukan pemilik kendaraan bermotor atau mungkin tidak memiliki SIM. Setelah jumlahnya dianggap cukup, maka pengumpulan data dihentikan dan dilakukan pengolahan
data.

D. KLASIFIKASI PENELITIAN SOSIAL
1. Berdasarkan Sifat dan Tujuan Penelitian
Soerjono Soekanto melihat dari segi “sifat penelitian”, beliau membedakan penelitian sosial menjadi tiga tipe, yaitu penelitian eskploratori, penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatori.  Vredenbregt melihat dari segi “tujuan penelitian”, beliau juga membedakan penelitian sosial menjadi tiga tipe, yaitu penelitian eksploratori, penelitian deskriptif, penelitian eksplanatori. Robert K. Yin melihat dari segi strategi studi kasus, ada tiga tipe studi kasus penelitian sosial yaitu exploratory case study, descriptive case study, and explanatory case study. Dengan demikian, ada tiga tipe penelitian sosial, yaitu:
a. penelitian eksploratori (exploratory study);
b. penelitian deskriptif (descriptive study);
c. penelitian eksplanatori (explanatory study).

1.1 Penelitian Eksploratori
Penelitian eksploratori bersifat mendasar dan bertujuan untuk memperoleh keterangan, informasi, data mengenai hal-hal yang belum diketahui. Karena bersifat mendasar, penelitian ini disebut penjelajahan (eksploration).

Penelitian eksploratori dilakukan apabila peneliti belum memperoleh data awal sehingga belum mempunyai gambaran sama sekali mengenai hal yang akan diteliti.

Penelitian eksploratori tidak memerlukan hipotesis atau teori tertentu. Peneliti hanya menyiapkan beberapa pertanyaan sebagai penuntun untuk memperoleh data primer berupa keterangan, informasi, sebagai data awal yang diperlukan.

Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah observasi di lokasi penelitian dan wawancara dengan responden. Mereka yang dapat dijadikan responden adalah tokoh masyarakat setempat, pejabat pemerintah daerah setempat, anggota kelompok masyarakat tertentu, semuanya yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian eksploratori. Penelitian eksploratori adalah semacam studi kelayakan (feasibility study)

Misalnya, peneliti ingin memperoleh data awal tentang kemungkinan mendirikan cabang perusahaan asuransi jiwa di kota Metro. Peneliti menyusun daftar pertanyaan (bukan rumusan masalah) guna mengetahui potensi pemasaran asuransi jiwa sebagai berikut:
a. Berapa jumlah penduduk di kota Metro?
b. Apa mata pencarian mereka?
c. Berapa jumlah pendapatan per kapita?
d. Apa ada perusahaan asuransi jiwa di kota Metro?
e. Bagaimana pengetahuan penduduk tentang asuransi jiwa?
f. Apakah pernah dilakukan penelitian tentang asuransi jiwa di kota Metro?
g. Apakah pernah dilakukan pemasaran asuransi jiwa melalui penyuluhan kepada penduduk kota Metro?
Dan seterusnya sesuai dengan tujuan penelitian.

Berdasarkan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan hasil analisis dapat disimpulkan apakah cukup potensial atau tidak membuka cabang asuransi jiwa di kota Metro. Hasil penelitian eksploratori tersebut dijadikan masukan bagi manajemen kantor pusat perusahaan asuransi jiwa untuk mengambil keputusan apakah patut membuka kantor cabang asuransi jiwa di kota Metro.

1.2 Penelitian Deskriptif
Penelitian deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan komunitas tertentu yang berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial tertentu, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

Pada penelitian tipe ini, peneliti biasanya sudah memperoleh data awal atau mempunyai pengetahuan awal tentang masalah yang akan diteliti. Pada penelitian deskriptif, seorang peneliti sudah biasa menggunakan teori atau hipotesis.

Contoh penelitian deskriptif yang akan diperoleh paparannya adalah mengenai: “Kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan raya terhadap ketertiban lalu lintas di Kota Bandar Lampung”.
Masalah yang dapat dikemukakan adalah: Faktor-faktor apakah yang menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas angkutan kota di Bandar lampung?

Dugaan yang dapat diperkirakan sebagai penyebab tingginya angka
kecelakaan lalu lintas angkutan kota adalah faktor pengemudi angkot, pejalan kaki, pedagang kaki lima, petugas parkir, yang tingkat kesadaran hukumnya rendah, dan faktor sarana lalu lintas yang tidak sempurna di kota Bandar Lampung.
Apa benar demikian? Fokus penelitian adalah pada kesadaran hukum pengemudi angkot, pejalan kaki, pedagang K5, petugas parkir, dan sarana lalu lintas (luas jalan, pembatas jalan, trayek angkot, rambu-rambu lalu lintas, fasilitas parkir, sebra cross, jembatan penyeberangan).
Lokasi penelitian di kota Bandar Lampung. Faktor-faktor yang akan diungkapkan adalah faktor objektif (sarana lalu lintas), dan faktor subjektif (manusia pengguna jalan raya).

Faktor objektif yang dapat diungkapkan meliputi:
a. Jalan dilengkapi/tidak dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas.
b. Berfungsi/tidak berfungsinya rambu-rambu lalu lintas.
c. Jalan memakai pembatas/tidak memakai pembatas.
d. Jalan dijadikan/tidak dijadikan tempat parker.
e. Jalan ditempati/tidak ditempati oleh pedagang kaki lima.
f. Jalan dilengkapi/tidak dilengkapi tempat penyeberangan khusus;
g. Trayek angkot ditentukan/tidak ditentukan, padat/tidak padat.

Faktor subjektif yang dapat diungkapkan meliputi:
a. Tingkat pendidikan
b. Pengetahuan tentang peraturan lalu lintas (UU No.14 Tahun 1992).
c. Pengetahuan persyaratan teknis kendaraan bermotor.
d. Lama pengalaman jadi supir angkot.
e. Cara memperoleh SIM.
f. Angkot milik sendiri atau pengusaha.
g. Sistem penegakan hukum lalu lintas.

Gambaran atau paparan yang diperoleh berdasarkan faktor-faktor yang diungkapkan tadi akan menentukan tinggi/rendah tingkat kesadaran hukum pengguna jalan raya dan keefektifan sarana lalu lintas di kota Bandar Lampung, sehingga pelaksanaan lalu lintas menjadi semrawut/tidak semrawut.

Menurut teori sosiologi hukum lalu lintas, makin tinggi kesadaran hukum pengguna jalan raya, makin sempurna sarana lalu lintas, makin kecil kemungkinan terjadi kecelakaan lalu lintas. Sebaliknya, makin rendah kesadaran hukum pengguna jalan raya, makin tidak sempurna sarana lalu lintas, makin besar kemungkinan terjadi kecelakaan lalu lintas. Hipotesis yang dapat dirumuskan adalah: “Makin rendah kesadaran hukum pengguna jalan raya dan makin tidak sempurna sarana lalu lintas, makin tinggi angka kecelakaan lalu lintas”.



1.3 Penelitian Eksplanatori
Penelitian eksplanatori bersifat penjelasan dan bertujuan untuk menguji suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian yang sudah ada.

Contoh penelitian eksplanatori bidang hukum keluarga adalah mengenai: “Pengaruh kesejahteraan rumah tangga terhadap kenakalan remaja”. Hipotesis yang akan diuji misalnya adalah “Makin sejahtera kehidupan rumah tangga, makin rendah tingkat kenakalan remaja”.

Ternyata hasil penelitian hukum keluarga menunjukkan pengaruh negatrif yang signifikan, berarti hipotesis itu tidak benar, harus ditolak. Kehidupan rumah tangga masyarakat umumnya sudah sejahtera, namun tingkat kenakalan remaja masih tinggi, ini berarti ada variabel lain yang menjadi penyebab kenakalan remaja, tetapi luput dari penelitian, misalnya faktor siaran televisi atau bacaan tidak mendidik (porno, kekerasan, kekejaman).

E. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN SOSIAL
Walaupun bidang ilmu sosial berbeda satu sama lainnya, tidak berarti penelitiannya akan berbeda sama sekali antara satu sama lain. Langkah-langkah yang akan ditempuh selalu mempunyai kesamaan.

Langkah-langkah penelitian sosial paling tidak adalah sebagai berikut.

1. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dapat diartikan sebagai suatu pernyataan yang
lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah. Rumusan masalah dapat dibuat dalam bentuk kalimat tanya atau kalimat pernyataan, sekhusus mungkin tetapi tetap mencerminkan adanya hubungan antara berbagai variabel.
Rumusan masalah yang jelas akan menghindari pengumpulan data yang tidak perlu, sehingga dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga. Penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai.

Para ilmuan mengatakan: Masalah yang dirumuskan dengan baik berarti setengah dari kegiatan penelitian sudah selesai.

Adapun contoh rumusan masalah, antara lain mengenai pembagian harta bersama akibat perceraian suami dan istri adalah sebagai berikut: “Sistem pembagian manakah yang dianggap cocok untuk dijadikan dasar pembagian harta bersama akibat perceraian antara suami dan istri” di daerah Lampung?

Mengapa sistem pembagian yang dijadikan masalah? Karena hukum waris yang berlaku di Indonesia masih pluralistis, ada yang mengikuti ketentuan KUHPdt, ada yang mengikuti ketentuan hukum adat, dan ada yang mengikuti ketentuan hukum Islam. Dalam rumusan masalah tersebut terdapat beberapa faktor yang termasuk dalam lingkup masalah, yaitu:

a. perceraian suami istri (sebab);
b. pembagian harta bersama (akibat);
c. sistem pembagian yang dianggap cocok (instrumen).
d. daerah Lampung (lokasi penelitian).


2. Strategi Penelitian (Pendekatan Masalah)
Setiap bidang ilmu mempunyai karakteristik penelitiannya masing-masing, termasuk juga ilmu-ilmu sosial. Khusus mengenai strategi penelitian (pendekatan masalah) sangat tergantung pada jenis penelitian. Pendekatan masalah adalah proses penyelesaian atau mencari solusi yang efektif dan efisien terhadap masalah penelitian yang telah dirumuskan sehingga mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Dalam ilmu sosial dikenal tiga jenis penelitian, yaitu penelitian
normatif, penelitian terapan, dan penelitian empiris.

2.1 Penelitian Normatif
Pada penelitian normatif, pendekatan masalah yang dapat digunakan umumnya adalah content analysis approach. Untuk menggunakan content analysis approach, peneliti lebih dahulu telah merumuskan masalah dan tujuan penelitian.

Masalah dan tujuan penelitian perlu dirumuskan secara rinci, jelas,
akurat. Makin rinci, jelas, dan akurat rumusan masalah, makin jelas, luas, dan pasti tujuan yang akan dicapai.

Dalam konteks penelitian normatif, ada tiga tipe pendekatan content analysis, yaitu:

a. Pendekatan eksploratori (exploratory approach)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan pertama dan sederhana yang
digunakan peneliti dalam content analysis approach. Pada tipe ini, peneliti bertujuan untuk memperoleh data awal melalui kegiatan penjelajahan (exploration) terhadap objek penelitian.

Di sini peneliti belum memiliki data/informasi sama sekali mengenai objek penelitian. Untuk memperoleh data/informasi awal itu, peneliti menyusun daftar pertanyaan penuntun (bukan rumusan masalah) sesuai dengan kebutuhan.
Jawaban yang diperoleh atas pertanyaan penuntun dalam penjelajahan, kemudian disusun secara lengkap, rinci, dan sistematis sebagai data/informasi awal untuk pengambilan keputusan.

b. Pendekatan tinjauan/ulasan (review approach)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan kedua yang digunakan peneliti dalam content analysis approach. Pada tipe ini, peneliti bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek normatif yang dibahas atau diulas.

Pada tipe ini, peneliti melakukan tinjauan dari berbagai aspek filosofis, sosiologis, yuridis, guna mengungkapkan ketidaksempurnaan, kelemahan, kekurangan, kecerobohan, kerugian, mudharat dari ketentuan acuan normatif yang menjadi objek penelitian. Ketidaksempurnaan tersebut akan menghambat pembangunan, merugikan kepentingan masyarakat, pihak-pihak, bahkan negara.

c. Pendekatan analisis komprehensif (comprehensive analysis)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan ketiga dan tertinggi serta lebih lengkap dan rinci dalam content analysis approach dibandingkan dengan tipe review approach.

Pada tipe ke-3 ini, peneliti mengungkapkan tidak hanya segi ketidaksempurnaan, tetapi juga segi keunggulan, dan sekaligus menunjukkan solusi terbaik dan tepat yang perlu dilakukan oleh tokoh masyarakat atau pembuat undang-undang, atau pengambil keputusan. Pendekatan comprehensive analysis adalah tipe analisis yang paling berbobot dari segi akademik dan teknik perundang-undangan.



2.2 Penelitian Terapan
Pada penelitian terapan, pendekatan masalah yang dapat digunakan adalah applied approach. Untuk menggunakan applied approach, peneliti lebih dahulu telah merumuskan masalah dan tujuan penelitian serta langkah-langkah yang akan ditempuh.

Makin rinci, jelas, dan akurat rumusan masalah, makin jelas, luas, dan pasti tujuan yang akan dicapai berdasarkan langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian terapan. Rumusan masalah dan tujuan penelitian dijadikan dasar pengumpulan, pengolahan, dan analisis data serta dasar pembuatan sistematika hasil penelitian terapan.

Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehensif, dan lengkap, sehingga menghasilkan produk penelitian terapan yang lebih sempurna.

3.    Rancangan Penelitian Rancangan penelitian sosial pada dasarnya merupakan uraian singkat tentang kerangka penelitian yang akan dilakukan. Rancangan penelitian sangat penting bagi seorang peneliti, di samping berisikan garis-garis besar pelaksanaan penelitian, juga dapat menjadi sarana untuk memperoleh dana pembiayaan dari pihak lain.

Dilihat dari segi sistematika isi dan format rancangan penelitian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman. Kadang-kadang tergantung juga pada lembaga, instansi, atau institusi masing-masing atau pihak pemberi dana.

Pada perguruan tinggi tertentu biasanya telah ditetapkan sistematika dan format berdasarkan buku pedoman yang telah disepakati. Biasanya rancangan penelitian sosial diwujudkan dalam bentuk proposal penelitian (research proposal).


4. Observasi dan Wawancara
Observasi adalah kegiatan yang dilakukan di lokasi penelitian. Ada dua jenis observasi, yaitu observasi prapenelitian berupa peninjauan di lapangan, penjajagan awal mengenai segala hal yang berhubungan dengan penyusunan rancangan penelitian dan kemungkinan memperoleh data yang diperlukan.

Selain itu, observasi merupakan kegiatan pengumpulan data di lokasi penelitian dengan berpedoman pada alat pengumpul data yang sudah disiapkan lebih dahulu.

Alat pengumpul data di lapangan dibuat berdasarkan rancangan penelitian. Penyusunan alat pengumpul data dilakukan dengan teliti karena menjadi pedoman pengumpulan data yang diperlukan.

Selain observasi, alat pengumpul data biasanya berbentuk kuesioner, baik tertutup maupun terbuka, dan pedoman wawancara.



5. Pengolahan dan Analisis Data
Apabila data sudah terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Langkah ini sangat penting dalam penelitian sosial. Apabila kurang dipahami dan tidak dikerjakan dengan sungguh sungguh, maka hasil penelitian kurang memuaskan.

Terhadap data yang sudah terkumpul dan diolah, peneliti segera menetapkan analisis apa yang sekiranya dapat dilakukan, analisis kualitatif, atau kuantitatif, atau kedua duanya. Pada tahap analisis data, secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji karena pada tahap ini ketelitian dan pencurahan daya pikir diperlukan secara optimal.

Di sini diperlukan ketajaman berpikir. Apabila analisis data yang dilakukan tidak sesuai dengan tipe dan tujuan penelitian serta karakteristik data yang terkumpul, maka akibatnya sangat fatal.

Apabila data yang terkumpul kebanyakan bersifat pengukuran (berupa angka angka), maka analisis dilakukan secara kuantitatif. Tetapi apabila sulit diukur dengan angka, maka analisis data dilakukan secara kualitatif.

Pada penelitian sosial umumnya seringkali digunakan analisis kualitatif. Data yang sudah dianalisis dibuat dalam bentuk laporan penelitian. Mengapa penelitian sosial seringkali menggunakan analisis kualitatif? Menurut Bambang Waluyo, analisis kualitatif digunakan apabila:

a. Data yang terkumpul tidak berupa angka yang dapat diukur.
b. Data yang terkumpul sukar diukur dengan angka.
c. Hubungan antar variabel tidak jelas.
d. Sampel lebih bersifat nonprobabilitas.
e. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi.
f. Penggunaan teori sosial yang relevan sangat diperlukan.
g. Penggunaan analisis kualitatif sangat tepat pada penelitian eksploratory, deskriptif, dan normatif.

Analisis kuantitatif baru digunakan apabila data yang diperoleh menunjukkan hal-hal seperti berikut:
a. Data berupa gejala yang terdiri dari angka-angka.
b. Sampel diambil dengan metode yang cermat dan teliti.
c. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner tertutup.
d. Hubungan antar variabel sangat jelas.
e. Peneliti harus menguasai teori yang relevan

Analisis kuantitatif lebih banyak digunakan pada penelitian eksplanatori. Tetapi pada penelitian deskriptif, analisis kualitatif dan kuantitatif dapat digunakan bersama-sama.

Penulisan Laporan Penelitian
Laporan penelitian merupakan hasil penyajian data yang sudah diolah dan dianalisis ke dalam bentuk suatu karya tulis ilmiah. Penulisan laporan penelitian merupakan kerja terberat bagi peneliti.

Peneliti diuji kemampuannya menulis karya ilmiah dengan menggunakan bahasa, kaidah penulisan ilmiah, sistematika isi, dan format yang baik dan benar sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah.

Penulisan laporan penelitian memerlukan keahlian tersendiri. Melalui penulisan laporan penelitian akan diketahui kemampuan ilmiah peneliti paling sedikit meliputi empat aspek kemampuan berikut ini:
a. Kemampuan menerapkan teori yang relevan.
b. Kemampuan menerapkan metode penelitian yang tepat.
c. Kemampuan membuat sistematika dan format laporan.
d. Kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Bachtiar, Harsja. 1981. Penggolongan Ilmu Pengetahuan. Depdikbud. Jakarta.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Rajawali. Jakarta.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Penerbit Citra Aditya Bakti. Bandung.
Koentjaraningrat, Ed. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Musa, Mohammad dan Titi Nurfitri. 1988. Metodologi Penelitian. Penerbit Fajar Agung. Jakarta
Nazir, Mohammad. 1985. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Vredenbregt, J. 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Waluyo, Bambang. 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktik. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.
Yin, Robert K. 1989. Case Study Research : Design and Methods. SAGE Publications Inc. California, London, New Delhi.