1.1 Menurut UU
No. 5 Tahun 1974
Ø UU No 5 Tahun 1974 tidak mengatur desa, tetapi diatur
secara detail dalam UU No 5 Tahun 1979. Desa
adalah kesatuan administrasi pemerintahan terendah dibawah kecamatan dan
diseragamkan di seluruh negara kesatuan Republik Indonesia.
format UU No 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang dinilai
sentralistik dengan konotasi kurang demokratis, yaitu kepala daerah memberikan
pertanggungjawaban kepada pemerintah diatasnya dan memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, tetapi tidak ada statement menginformasikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Dalam rumusan
konstitusi, tepatnya pasal VI tentang pemerintahan daerah, secara implisit desa
memang tidak diatur secara jelas, sehingga pengaturan tentang desa dimasukkan dalam
Undang Undang tentang pemerintahan daerah, sehingga hal ini menimbulkan sedikit
banyak masalah terutama tentang pengaturan desa itu sendiri.
Hal ini jelas
berbeda jika dibandingkan dengan UU 5 tahun 1979 yang menempatkan desa langsung
berada di bawah camat menunjukkan posisi yang jelas, bahwa desa langsung
ditempatkan berada di bawah kontrol pemerintah pusat. Menimbulkan pertanyaan
apakah sebaiknya desa tidak diatur secara tersendiri dalam UU khusus tentang
desa yang terlebih dahulu diberi posisi yang jelas dalam konstitusi mengingat
desa dalam sejarahnya adalah pemerintahan asli, eksis dan dihormati warganya
dengan adat khasnya.
Pada
kenyataannya, sekarang terjadi banyak disharmonisasi antara hubungan kepala
desa beserta perangkatnya dengan BPD, antara pemerintahan desa dengan
pemerintahan kabupaten. Perda yang dibuat oleh kabupaten yang mengatur tentang
desa tidak dapat serta merta diterima oleh pemerintah desa.
Hal seperti itu
sangat masuk akal sebab selama pemerintahan Orde Baru kedudukan kepala desa
sangat kuat dan hampir tidak pernah mendapat kritik dari masyarakat. Kalaupun
ada masukan dari masyarakat, kedudukan kepala desa tidak pernah terganggu. Hal
yang memungkinkan terjadinya konflik adalah dukungan kepala desa datangnya dari
basis massa politik aliran
1.2 Menurut UU
No. 22 Tahun 1999
Ø UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004 menetapkan
desa relatif mandiri dan pengaturannya diserahkan kepada kabupaten. Desa
mempunyai pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa, tetapi desa sendiri
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi,
berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan
berada di kabupaten/kota.
Pasal 102
Dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 101,
Kepala Desa :
a. bertanggung
jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa; dan
b. menyampaikan
laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
UU Nomor 22
Tahun 1999 memberikan keleluasaan yang besar kepada Daerah Otonom untuk
menjalankan kewenangan untuk mengurus kepentingan masyarakat setempat. Begitu
juga kepada Desa sebagai kesatuan masyarakat yang berpemerintahan sendiri (self
governing society). Pola pertanggungjawaban kepala Desa tidak lagi ke atas
(kepada camat), melainkan ke samping. Hal tersebut nampak dari bunyi Pasal 102
UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Kepala
Desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa. Dengan
demikian, hubungan kerja antara Camat dengan Kepala Desa tidak lagi bersifat
subordinasi.
Mekanisme
pertanggungjawaban Kepala Desa sebagaimana diatur di dalam Pasal 102 huruf (a)
dapat ditafsirkan ke dalam 3 (tiga) model yakni:
Model
pertanggungjawaban dengan kemungkinan adanya penerimaan atau penolakan LPJ
Kepala Desa oleh BPD setelah berkonsultasi dengan rakyat, yang dapat membawa
konsekuensi pemberhentian Kepala Desa sebelum masa jabatannya berakhir;
Model
pertanggungjawaban Kepala Desa kepada BPD sebagai cara untuk mengawasi jalannya
pemerintahan Desa melalui konsultasi dengan rakyat;
Model
pertanggungjawaban Kepala Desa sebagai cara mengawasi jalannya pemerintahan
Desa dengan diputuskan sendiri oleh BPD tanpa konsultasi dengan rakyat.
Jika sebelumnya
desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan terendah dibawah camat, maka menurut
UU No 22 Tahun 1999 desa ditempatkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya.
Karena berbagai
kelemahan tersebut, maka UU No 22 Tahun 1999 diganti dengan berlakuknya UU No
32 Tahun 2004. Secara mendasar, ada berbagai argumentasi yang melandasi alasan
mengapa perlu dilakukan revisi terhadap
UU No 22 Tahun 1999. UU No 22 Tahun 1999, dipandang terlalu liberal dan
federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI.
Sesuai dengan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, kepala desa bersama-sama dengan BPD
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan rumah tangganya sendiri. Kepala desa
merupakan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan dan pembangunan dengan
segala aspeknya. Dalam hal ini, BPD merupakan wadah yang menyalurkan aspirasi
masyarakat desa. Setiap keputusan kepala desa yang bersifat mengatur dan
mempunyai akibat pembebanan terhadap masyarakat harus dimusyawarahkan dengan
BPD. BPD merupakan lembaga yang seharusnya mengkomunikasikan politik pemerintah
melalui musyawarah untuk mempertemukan kebijakan pemerintah dengan kepentingan
masyarakat desa.
Namun demikian,
secara cita-cita ideologis, apa yang di atur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tersebut, seringkali berbenturan
dengan realita yang ada di masyarakat. Berbenturan dalam arti pelaksanaannya
seringkali bahkan dapat dikatakan hampir tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh masyarakat setempat. Sebagai gambaran adalah fenomena yang
terjadi pada pemerintahan desa di wilayah Kabupaten Probolinggo, khususnya
desa-desa di Kecamatan Kotaanyar. Setiap desa di Kecamatan ini telah mempunyai
Lembaga BPD sebagai bentuk implementasi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Desa-desa tersebut menjadi menarik untuk dikaji, sebab aturan-aturan atau
tatanan dan pola-pola yang dibuat oleh pemerintah lebih didasari pemahaman yang
sentralistik sekaligus seragam.
1.3 Menurut UU
No. 32 Tahun 2004
Kepada rakyat memberikan
informasi, kepada DPRD memberikan keterangan pertanggungjawaban, kepada
pemerintah diatasnya memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (UU
No 32 Tahun 2004; Pasal 27 ayat 2, 3 dan 4).
UU No 32 Tahun 2004 menggunakan
statement yang halus, kelihatan lebih demokratis yaitu bukan “memberikan
pertanggungjawaban kepada pemerintah diatasnya” melainkan “kepala daerah
mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada pemerintah”. Isi pasal 27
ayat 2, 3 dan 4 terlihat bahwa pemerintah lebih mewakili pemilih daripada DPRD
dalam mengawasi jalannya kepemimpinan kepala daerah yang berarti sejauhmana
kekuasaan yang diberikan pemilih/rakyat betul-betul digunakan untuk kepentingan
rakyat.
. “Kepala Desa
pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan
prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui
Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan
keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat menyampaikan
informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya……
Namun demikian,
ada beberapa ketentuan yang kemungkinan besar dapat menimbulkan dampak yang
kontraproduktif bagi perkembangan otonomi desa. (1) Terletak pada pengaturan
yang terkesan menginginkan resentralisasi. Kekuasaan daerah yang terlalu besar,
berusaha ditarik kembali dengan memperkuat kontrol pusat pada daerah. Gejala
resentralisasi ini dapat dilihat dari ketentuan yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban kepala daerah yang tidak lagi kepada DPRD dan juga
pertanggungjawaban kepala desa yang tidak lagi kepada BPD tetapi kepada unit
pemerintahan diatasnya. Dalam kerangka itu, maka pejabat berwenang pada unit
pemerintah diatasnya berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintah daerah. (2) UU No 32 tahun 2004 berupaya untuk
memperkuat kedudukan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, agar
tidak dengan mudah dapat diturunkan oleh kekuatan DPRD, dengan membuatnya lebih
loyal pada atasan. Inilah yang oleh banyak kalangan disebut dengan desain
neokorporatisme. Di tingkat desa, UU No 32 Tahun 2004 berusaha menghindari
konflik antara kepala desa dan BPD yang sebelumnya sudah sangat sering terjadi.
Melalui Pasal 209, Badan Perwakilan Desa diganti dengan Badan Permusyawarakatan
Desa. Kepala desa sudah tidak lagi mempertanggungjawabkan pelaksanaan
pemerintahan desa kepada BPD melainkan kepada Bupati/Walikota. (3) Adanya
pengaturan dalam UU No 32 Tahun 2004, yang amat memungkinkan terintegrasikannya
secara kuat desa kedalam wadah negara secara formal (birokratisasi desa). Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 200 ayat (3) bahwa desa di
kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi
kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan
permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda. (5) (Kuatnya posisi desa
dalam format ini di satu sisi, dan euphoria demokrasi serta belum matangnya
aktor politik desa dalam menjalankan manajemen politik lokal di pihak lain,
kerap menimbulkan ketegangan antara desa dengan unit-unit diatasnya seperti
kecamatan, maupun kabupaten.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut