Laman

Rabu, 26 Juni 2013

Proses Penyelenggaraaan Pemilu Gabungan Sistem Distrik dan Sistem Proporsional di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Pemilihan umum adalah sebuah konsekuensi dari pemerintahan yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Pemilihan umum melibatkan seluruh lapisan masyarakat suatu negara yang memiliki hak yang sama, yaitu setiap masyarakat yang telah memenuhi persyaratan dalam pemilu berhak untuk memilih dan dipilih dan hasilnya berdasarkan perolehan suara tertinggi, pemilihan umum dilakukan sebagai upaya untuk mencapai sebuah suara politik warga negara yang diharapkan nantinya menghasilkan berbagai kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Sistem Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkinkan warganegara memilih para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan dengan prosedur dan aturan merubah (mentransformasi) suara ke kursi di lembaga perwakilan dan suara rakyat dalam memilih pemimpin negara.
Pada arti yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua osis atau ketua kelas. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa dan kepala lingkungan. Pemilu merupakan sarana langsung bagi masyarakat yang cukup usia untuk berpartisipasi dalam memengaruhi pengambilan keputusan.
Dikebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum di anggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi serta aspirasi imasyarakat.
Sekalipun demikiannya tersebut, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.    
Tahapan proses pemilu antara lain penetapan daftar pemilih, tahap pencalonan kandidat, tahap kampanye, tahap pemungutan serta penghitungan suara, dan hasil perolehan suara sehingga kita dapat menentukan kandidat yang terpilih. Sistem pemilu di Indonesia harus sesuai dengan prinsip pemilu yang bebas, langsung, jujur, adil dan rahasia.
Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali. Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada beberapa prinsip pokok, yaitu :
1.      Single Member Constituency /  Sistem Distrik.
Dalam sistem ini satu wilayah kecil (distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.
Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam  dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya. Sistem ini sering digunakan di Negara yang memiliki sistem dwi-partai[1] seperti Inggris dan bekas jajahannya (Amerika, India dan Malaysia).
Kelebihan sistem distrik, yaitu :
-        Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan lebih bebas, oleh karena dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting.
-        Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Du verger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem dwi partai.
-        Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional.
-        Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
Disamping kelebihan, sistem distrik juga memiliki kelemahan, yaitu :
-        Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
-        Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat men capai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.
-        Muncul kemungkinan wakil terpilih cenderung lebih mementingkan kepentingan distriknya dibandingkan kepentingan nasional.
-        Umumnya kurang efektif bagi suatu masyarakat heterogen.[2]

2.      Multi Member Constituency ( dinamakan Proportional Representation / Sistem Perwakilan Berimbang ).
Dasar pemikiran Proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif. Dalam sistem ini, satu wilayah danggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh oleh sesuatu partai atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain. untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan.
Jika sistem distrik sering digunakan di negara yang menganut sistem dwi-partai, maka sistem proposional banyak digunakan di negara yang menganut sistem banyak partai seperti Belanda, Italia, Swedia, Belgia dan di negara Indonesia sendiri.
Sistem pemilu Proporsional terbagi 2, yaitu Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote (STV).
ü  Proporsional Daftar
Dalam sistem ini setiap partai memuat daftar calon-calon bagi setiap daerah/distrik pemilihan.Calon diurut berdasarkan nomor (1, 2, 3, dan seterusnya). Pemilih memilih partai, dan partai menerima kursi secara proporsional dari total suara yang dihasilkan. Calon yang nantinya duduk diambil dari yang ada di daftar tersebut. Jika kursi hanya mencukupi untuk 1 calon, maka calon nomor urut 1 saja yang masuk ke parlemen.
ü  Single Transforable Vote ( STV )
STV menggunakan satu distrik lebih dari satu wakil, dan pemilih merangking calon menurut pilihannya di kertas suara seperti pada Alternate Vote. Dalam memilih, pemilih dibebaskan untuk merangking ataupun cukup memilih satu saja. Sistem ini dipakai di Malta dan Republik Irlandia.

Kekurangan dari Sistem Proporsional
a.       Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat; mereka lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.
b.      Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal ini disebabkan oleh karena dianggap bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya daripada kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
c.       Banyaknya partai mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih.
Disamping kekurangan, sistem ini juga memiliki kelebihan, yaitu :
a.       Secara konsisten mengubah setiap suara menjadi kursi yang dimenangkan, dan sebab itu menghilangkan “ketidakadilan” seperti sistem yang didasarkan pada mayoritas yang “membuang” suara kalah.
b.      Mewujudkan formasi calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang “satu ide” untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan, ideologi, atau kepemimpinan dalam masyarakat.
c.       Mampu mengangkat suara yang kalah (bergantung Threshold).
d.      Memfasilitasi partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen.
e.       Membuat partai-partai politik berkampanye di luar “basis wilayahnya.”
f.       Memungkinkan tumbuh dan stabilnya kebijakan, oleh sebab Proporsional menuntun pada kesinambungan pemerintahan, partisipasi pemilih, dan penampilan ekonomi.
g.      Memungkinkan partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling berbagi kekuasaan.
Secara umum perbedaaan-perbedaaan yang mendasar kedua sistem ini, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Perbandingan Sistem Proporsional dan Sistem Distrik[3]
Sistem Ukur
Proporsional Murni
Distrik Murni
1.     Daerah Pemilihan
1.      Basis wilayah
2.      Ukuran besar
3.      Jumlah daerah pemilihan sedikit
1.      Basis penduduk
2.      Ukuran kecil
3.      Jumlah daerah pemilihan banyak
2.     Wakil
1.      Lebih dari satu daerah pemilihan
2.      Asas wakil bebas
3.      Hubungan dengan pemilih melalui partai
4.      Kurang/tidak dikenal
5.      Dicalonkan oleh partai
6.      Pengawasan pemilih kurang
7.      Bertanggung jawab kepada partai
1.      Hanya satu daerah pemilih
2.      Ada ketentuan domisili
3.      Hubungan dengan pemilih langsung atau melalui partai
4.      Diawasi oleh pemilih
5.      Dicalonkan oleh pemilih atau partai
6.      Pengawasan pemilih kuat
7.      Bertanggungjawab kepada pemilih
3.     Suara
1.      Tidak ada yang hilang
2.      Mayoritas mutlak
1.      Ada yang hilang
2.      Mayoritas sederhana
4.  Partai
3.      Menguntungkan partai kecil
4.      Cenderung multi partai
5.      Kekuasaan besar terhadap wakil
6.      Organisasi partai sampai setingkat desa
1.      Merugikan partai kecil
2.      Cenderung bipartai
3.      Kekuasaan kecil terhadap wakil
4.      Organisasi partai setingkat desa
5.     Organisasi pelaksana
Bersifat otomon
Bersifat otonom
6.     Sistem pemerintahan
1.      Mengarah kepada pemerintahan koalisi
2.      Sentralisasi
1.      Tidak mengarah kepada pemerintahan koalisi
2.      Desentralisasi
Sumber: LIPI

Dengan melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem pemilihan umum tersebut, maka muncul sistem pemilihan gabungan dari sistem Proporsional dan sistem Distrik. Sistem ini mengakomodasikan kedua sistem pokok pemilihan umum tersebut agar sesuai dengan situasi dan kondisi negara dalam rangka mencari sistem pemilihan umum yang terbaik.

1.2  Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana mekanisme penyelenggaraan pemilu gabungan sistem distrik dan sistem proporsional ?
2.      Apakah alasan Indonesia menggunakan gabungan sistem distrik dan proporsional dalam penyelenggaraan pemilu?
3.      Bagaimana proses penyelenggaraaan pemilu gabungan sistem distrik dan sistem proporsional di Indonesia ?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui mekenisme penyelenggaraan gabungan sistem distrik dan sistem proporsional
2.      Untuk mengetahui alasan Indonesia menggunakan gabungan sistem distrik dan proporsional dalam penyelenggaraan pemilu
3.      Untuk mengetahui proses penyelenggaraan pemilu gabungan sistem distrik dan proporsional

1.4  Manfaat Penulisan
a.       Manfaat Teoritik
Sebagai kontribusi akademis guna mengetahui gabungan sistem distrik dan sistem proporsional dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia
b.      Manfaat Praktis
Sebagai kontribusi pemikiran dan masukan bagi lembaga-lembaga yang berwenang terkait dengan sistem penyelenggaraan pemilu di Indonesia
















BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Mekanisme penyelenggaraan pemilu gabungan sistem distrik dan sistem proporsional
       Secara umum terdapat bermacam-macam sistem pemilihan umum (pemilu), namun pada umumnya terdapat 2 (dua) prinsip pokok sistem pemilihan umum yaitu
1.      Single-member Constituency  (Sistem Distrik)
2.      Multi-member Constituency (Proportional Representation/Sistem Perwakilan Berimbang)[4]
         Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilah salah satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam system proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi member constituency). Perbedaan pokok antara dua system ini ialah cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Namun demikian, terdapat juga sistem dimana gabungan dari kedua sistem pokok tersebut serta ada beberapa sistem lainnya. Gabungan dari sistem distrik dan proporsional sering disebut dengan sistem campuran/mixed sistem. Sistem Campuran bertujuan memadukan ciri-ciri positif yang berasal dari sistem distrik ataupun Proporsional.
Dalam sistem campuran, terdapat 2 sistem pemilu yang jalan beriringan, meski masing-masing menggunakan metodenya sendiri. Suara diberikan oleh pemilih yang sama dan dikontribusikan pada pemilihan wakil rakyat di bawah kedua sistem tersebut. Satu menggunakan sistem distrik dan lainnya adalah Proporsional Daftar.


Terdapat dua bentuk sistem campuran, yaitu :
a.       Mixed Member Proportional ( MMP )
Disebut MMP Jika hasil dari dua sistem pemilihan dihubungkan, dengan alokasi kursi di sisi sistem Proporsional bergantung pada apa yang terjadi di sistem distrik. Kursi sistem Proporsional dianugrahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. MMP digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela.
b.      Paralel
Jika 2 perangkat sistem pemilihan tidak berhubungan dan dibedakan, dan satu sama lain tidak saling bergantung. Komponen Proporsional tidak mengkompensasikan sisa suara bagi distrik yang menggunakan sistem distrik. Pada sistem Paralel, seperti juga pada MMP, setiap pemilih mungkin menerima hanya satu surat suara yang digunakan untuk memilih calon ataupun partai (Korea Selatan) atau surat suara terpisah, satu untuk kursi sistem distrik dan satunya untuk kursi Proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand).
c.       Single Non Transferable Vote ( SNVT )
Di dalam SNTV, setiap pemilih memiliki satu suara bagi tiap calon, tetapi (tidak seperti Distrik) adalah lebih dari satu kursi yang harus diisi di tiap distrik pemilihan. Calon-calon dengan total suara tertinggi mengisi posisi. SNTV digunakan di untuk pemilihan badan legislatif di Afghanista, Yordania, Kepulauan Pitcairn dan Vanuatu, untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia dan Thailand, serta 176 dari 225 kursi di Taiwan yang menggunakan sistem Paralel.
d.      Borda Count
Borda Count adalah sistem yang digunakan di Nauru (sebuah negara di Pasifik). Sistem ini adalah sistem pemilihan preferensi dimana pemilih merangking kandidat seperti pada Altenative Vote. Ia dapat digunakan pada distrik dengan satu atau lebih wakil. Hanya satu yang dipilih, tidak ada eliminasi. Rangking pertama diberi nilai 1, ranking kedua diberi nilai 1/2 , rangkin ketiga diberi nilai 1/3 dan seterusnya. Kandidat dengan total nilai tertinggi dideklarasikan sebagai pemenang.
Beberapa varian sistem pemilu yang lebih dekat ke sistem distrik yaitu :
a.       Block Vote ( BV )
Sistem ini adalah penerapan pluralitas suara dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi di distriknya, juga mereka bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai politiknya.Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri.
b.      Alternative Vote ( AV )
Alternate Vote (AV) sama dengan Sistem Pemilu Distrik sebab dari setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya, dalam AV pemilih melakukan ranking terhadap calon-calon yang ada di surat suara (ballot). Misalnya rangking 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketida, dan seterusnya. Oleh sebab itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada, daripada hanya memilih 1 saja seperti di sistem distrik.
c.       Two Round Sistem ( TRS )
Two Round Sistem (TRS) adalah sistem pemilu yang juga didasarkan pada pluralitas/mayoritas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan sebelumnya (50% + 1). TRS menggunakan sistem yang sama dengan sistem distrik / sistem BV. Dalam TRS, calon atau partai yang menerima proporsi suara tertentu memenangkan pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jika suara yang diperoleh pemenang tidak mayoritas.

Sistem pemilihan umum Proporsional dan Distrik ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sehingga muncullah konsep baru yaitu gabungan antara sistem Distrik dan Proporsional yang mengakumulasikan kedua konsep ini sehingga kekurangannya dapat diperkecil dan memperbesar keuntungannya.
Negara yang mencoba mengakumulasikan kedua sistem ini yaitu Singapura, Jepang, Jerman, Swedia, Italia, Indonesia dan negara-negara lainnya. Kasus yang paling menarik dan gamblang adalah Jerman,yang pada masa lampau mempunyai terlalu banyak partai dengan memakai sistem proporsional murni, dewasa ini menggabung kedua sistem dalam pemilihan umumnya.
Setengah dari parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan sistem proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih calon atas dasar sistem distrik (sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih partai atas dasar sistem proporsional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini diharapkan distorsi tidak terlalu besar efeknya.
Selain itu, di Jerman dan beberapa negara dengan banyak partai ada usaha untuk mengurangi jumlah partai yang akan memperoleh kursi dalam parlemen melalui kebijakan electoral threshold [5] Konsep ini menetukan jumlah suara minimal yang diperlukan oleh suatu partai untuk memperoleh kursi dalam parlemen, misalnya 5 %.
Negara-negara lain yang menentukan electoral threshold adalah Swedia, Italia (4%) dan Indonesia (mulai 2004) untuk pemilihan badan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehkan  suara sah secara nasional.[6]
       Dari berbagai contoh tersebut, diketahui bukan hanya Indonesia yang bermasalah dalam sistem pemilihan umum yang paling baik baginnya. Baik sistem Distrik maupun Proporsional memiliki segi positif dan negatif tersendiri. Sehingga setiap negara harus menentukan ciri mana dari sistem mana yang dianggap terbaik bagi negaranya.
       Dengan mempertimbangkan keadaan situasi dan kondisi negaranya. Sehingga dewasa ini sistem pemilihan Distrik dan Proporsional tidak lagi murni melainkan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi negara yang menganutnya.

2.2 Alasan Indonesia menggunakan gabungan sistem distrik dan proporsional dalam penyelenggaraan pemilu
Sistem pemilihan umum yang diterapkan di Indonesia adalah sistem Proporsional semi sistem distrik. Hal ini dapat terlihat dalam pemilihan umum Indonesia pada tahun 2004 hingga pemilu 2009. Penerapan ini dikarenakan kultur masyarakat majemuk serta pluralis dan kondisi perpolitikan Indonesia yang belum dewasa dalam menstabilisasikan perpolitikan nasional.
Pada Pemilihan Umum, Indonesia menerapkan sistem distrik untuk pemilihan anggota Legislative Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana dalam sistem Distrik ini tiap provinsi memiliki beberapa kursi yang diperebutkan oleh calon legislator, tidak seperti di sistem proporsional, suara yang kalah dalam pemilihan tidak dapat dialihkan ke calon legislator yang lain walaupun dari partai yang sama.
Penerapan Proporsional pada pemilihan Legislative Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilh dapat memilih wakilnya tanpa harus langsung memilih calon Legislatornya tetapi dapat melalui partainya, dan calon yang berada di urutan teratas berpeluang besar untuk mendapatkan suara dari partai terpilih oleh pemilih.
Sistem Semi proporsional ini adalah Sistem yang mengonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara sistem pemilihan proporsional dengan mayoritarian dari sistem plural-majorit[7]. Dan sistem Semi proporsional ini adalah gabungan atau kombinasi antar varian-varian Sistem Distrik dan Sistem Proporsional.
Sistem semi Proporsional juga memiliki sistem yang mengkombinasikan varian dari sistem Distrik dan Sistem Proporsional, seperti sistem Parallel (Parallel System), Limited Vote, dan Single Non-Transferable.
-        Sistem Parallel (Parallel System) ialah system yang menggunakan daftar-daftar calon seperti pada sistem representasi proporsional yang digabungkan dengan sistem distrik plural-majority.
-        Sistem Limited Vote, sistem campuran antara sistem pemilihan single non-transferable vote dengang sistem pemilihan Block Vote, karena menyertakan distrik wakil majemuk dan calon legislatif.
-        Sistem pemilihan single non-transferable vote. Setiap pemilih punya 1 suara, tetapi ada lebih 1 kursi yang harus diisi dalam setiap distrik. Jadi calon legislatif dan partai dengan suara terbanyaklah yang mengisi posisi legislatif.
Kedua macam sistem pemilihan umum di atas dirancang secara seksama untuk memenuhi kondisi sosio-politik suatu negara, makanya setiap sistem pemilihan umum yang dikonstruksi oleh suatu negara seharusnya berorentasi untuk mengembangkan kebermaknaan politik, bukan berorentasi pada kepentingan atas pemenuhan pertahanan status-quo.
       Indonesia sejak awal kemerdekaan telah mengalami beberapa perubahan dalam sistem pemilihan umumnya, mulai dari sistem proporsional, proporsional tertutup, proporsional terbuka sampai kepada pertimbangan diadakannya sistem distrik.
       Akan tetapi, sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan umum di Indonesia, bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. Hal ini tak lepas dari realitas yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah sistem pemilu itu merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika terdapat perubahan politik yang radikal.
       Di Indonesia sendiri sistem Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional daftar terbuka.
       Pemilihan umum tetap menggunakan sistem proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil. Dengan sistem proporsional kita dapat mengurangi masalah renggangnya ikatan  antara wakil rakyat dengan konstituennya dan dipihak lain, dapat menghindari bias terhadap partai kecil.[8]
       Disamping itu sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang diputuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para wakil tersebut berpandangan bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan dari pada sistem distrik.
       Pemilu 2004 mengadopsi sistem daftar terbuka untuk memilih anggota-anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan menggunkan konstituensi multi-anggota untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah. Dalam sistem daftar terbuka, para pemilih memilih partai dan sekaligus kandidiat tertentu. Dalam sistem konstituensi multi-anggota, pemilih memilih langsung calon-calon anggota dewan perwakilan daerah.
       Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
       Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD (Dewan Perwakilan Rakyat), digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).
       Ide utama dari sistem ini adalah untuk membuat wakil rakyat lebih dikenal di daerah-daerah pemilihan mereka. Dengan ide ini diharapkan wakil rakyat akan bertanggung jawab kepada konstituen mereka. Jika mereka berada diparlemen mereka akan benar-benar memenuhi harapan rakyat.[9]



2.3 Proses penyelenggaraaan pemilu gabungan sistem distrik dan sistem proporsional di Indonesia
Sejak kemerdekaan sampai pada tahun 2013, Indonesia telah melakukan 10 kali pemilihan umum yaitu pemilihan umum 1995, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional, adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak.
Sistem pemilihan umum yang digunakan pun cenderung mengalami perubahan setiap kali pemilu, hal ini sesuai dengan dinamika masyarakat yang menuntut perbaikan dari proses penyelenggaran pemilu dan dalam rangka mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
Indonesia menggunakan gabungan sistem distrik dan proporsional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 5 yaitu:
Pasal 5
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
       Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat  perubahan terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa orde baru.
       Pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten /kota.
       Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara  dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. Masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan.
       Pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. Pada tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos calonnya, hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi  jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP)[10], dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan para perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun di luar nomor urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
       Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarnya merupakan hasil sebuah kompromi. Dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. Memang jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai didalam menyeleksi caleg mana saja yang dipandang lebih pantas duduk di DPR dan  DPRD. Tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka.
       Perubahan-perubahan desain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. Ada beberapa penyebab diantaranya yaitu pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih calon  yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah.
       Selain itu, dilihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah. Permasalahan ini khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR dan DPRD kepada partai-partai. Disisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan.
       Mengingat sistem, hal ini terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi. Implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata BPP  nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP  nasional.
       Mengingat sistem pemilu yang sudah dimodifikasi dan mengalami sedikit perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. Jika pada pemilu 2004 sudah dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu selanjutnya usulan digunakannya sistem daftar terbuka.
       Dalam sistem ini digunakan nomor urut didalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana yang mewakili partai didalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang memenuhi BPP yang dijadikan ukurannya adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.
       Sistem ini baik untuk partai karena semua calon akan berkerja keras untuk partainya, rakyat juga  mendapatkan pilihan yang jelas. Sebab siapa yang paling banyak mendapat suara akan masuk ke parlemen tanpa memakai nomor urut yang kriterianya tidak sering jelas dan menjadi sumber politik uang.
       Sistem ini juga mendapat dukungan dari PAN akan tetapi PDIP menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan nomor urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap mendeligitimasi keberadaan partai. Demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR) menurutnya sistem terbuka tanpa nomer urut dapat di lakukan secara teoritis tapi sulit praktiknya. Perdebatan semacam itu telah di selesaikan di dalam UU pemilu No 10 tahun 2008.
       UU ini merupakan aturan dasar untuk pemilu 2009 di dalam UU ini memang disebutkan bahwa pada pemilu 1999 Indonesia menganut sistem daftar terbuka, tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut sistem semi daftar terbuka. Hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil.
       Tetapi yang membedakan dengan pemilu 2004 adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang memperoleh suara min 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai di dalam perolehan porsi meskipun tidak berada dinomor urut jadi. Di samping itu pemilu 2009 juga memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan semua partai wajib menyertakan calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus perempuan. tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas manakala ada partai-partai yang melanggarnya.
       Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada partai-partai yang memperoleh kursi.
       Keputusan ini menjadikan sistem pemilu di Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang  akan lolos menjadi anggota DPR dan atau DPRD dari partai yang memperoleh alokasi kursi.
       Akibat dari perubahan-perubahan itu, pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu selanjutnya memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. Pertama, kompetisi partai semakin kuat seiring di berlakukannya parliementary threshold[11]. Parliementary threshold adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan di tingkat pusat, multipartai didalam pemerintahan didaerah dan dipemilu. Hasil pemilu 2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursidi DPR karena lolos parliementary threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD.
       Hal ini dikarenakan ketentuan PT hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas ini memperkuat pandangan bahwa aturan main didalam sistem pemilu itu mewakili implikasi yang cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan kekuatan-kekuatan politik yang ada dan pengecilan besaran daftar pilih untuk pemilu anggota DPR.
       Kedua, kompitisi internal partai semakin tinggi. Kompitisi akhir ini mencangkup kompitisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar calon  laki-laki dan perempuan. Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi menggunakan mekanisme (suara terbanyak).
       Kompetisi antar partai dan antar calon di internal partai itu lebih mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye berlangsung lebih lama, setelah ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan calon bisa langsung melaksanakan kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di berlakukannya





















BAB III
PENUTUP


3.1  Kesimpulan
       Tiap – tiap negara menganut sistem pemilu yang berbeda satu dengan yang lainnya dengan penerapan sesuai dengan konstitusi masing – masing negara, yang juga melihat dari kondisi suatu negara tersebut. Seperti  Indonesia, dengan  tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar, maka dipandang Indonesia lebih pas menggunakan sistem pemilu proporsional dibandingkan sistem distrik. Oleh karena terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil.
          Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah mengalami pasang surut dalam sistem pemilu. Dari pemilu terdahulu hingga sekarang dapat diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia. Sejak awal pemerintahan yaitu demokrasi parlementer, terpimpin, pancasila dan reformasi, dalam kurun waktu itulah Indonesia telah banyak mengalami transformasi politik dan sistem pemilu.
       Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional, adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak.
       Pada Pemilihan Umum, Indonesia menerapkan sistem distrik untuk pemilihan anggota Legislative Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana dalam sistem Distrik ini tiap provinsi memiliki beberapa kursi yang diperebutkan oleh calon legislator, tidak seperti disistem proporsional, suara yang kalah dalam pemilihan tidak dapat dialihkan ke calon legislator yang lain walaupun dari partai yang sama.
       Sistem Semi proporsional ini adalah Sistem yang mengonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara sistem pemilihan proporsional dengan mayoritarian dari sistem plural-majorit. Dan sistem Semi proporsional ini adalah gabungan atau kombinasi antar varian-varian Sistem Distrik dan Sistem Proporsional
       Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Di pemilu 2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia.
       Pemilu 2004 menggunakan sistem pemilu yang berbeda-beda, bergantung untuk memilih siapa. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih presiden, anggota parlemen (DPR, DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk ketiga maksud pemilihan tersebut, terdapat tiga sistem pemilihan yang berbeda.
       Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
       Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).
       Di Indonesia sendiri sistem pemilu sudah mengalami perubahan dari sistem tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional terbuka.
       Upaya memperbaiki penyelenggaraan Pemilu ini merupakan bagian dari proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) serta upaya mewujudkan tata pemerintahan presidensiil yang efektif. Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu.

3.2  Saran
Indonesia dalam penyelenggaraan pemilu sejatinya masih mencari sistem pemilihan umum mana yang cocok diterapkan di Indonesia. Inti dari pemilihan umum adalah mencari perwakilan rakyat yang dapat memperjuangkan aspirasi rakyat. Sehingga apapun sistem pemilu yang digunakan, diharapkan dapat terpilih wakil-wakil rakyat yang dapat benar-benar “merakyat” melihat aspirasi rakyat dan memperjuangkan rakyat.
Penggunaan sistem proporsional terbuka yang dilakukan di Indonesia memberikan keterbukaan kepada rakyat agar dapat memilih sendiri caleg-caleg yang akan duduk di parlemen. Hal ini baik, namun sisi lainnya penggunaan sistem proporsional terbuka membuat partai seringkali terjebak dalam pragmatisme politik, yaitu caleg dipilih hanya karena 2 alasan, yaitu popoler dan bermodal.
Tugas pemerintah dan rakyat Indonesia dalam hal ini adalah meningkatkan pendidikan dan kesadaran politik agar masyarakat menjadi tanggap dan kritis akan calon-calonnya yang akan duduk di kursi parlemen.

















DAFTAR PUSTAKA


A.    Buku
Budiarjdo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet.3. Jakarta: Pnerbit Gramedia Pustaka Utama
Hadiwinata, Bob Sugeng dan Schunk, Christoph. Ed. Demokrasi di Indonesia Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010
Syafiie, Inu Kencana, 2000, Ilmu Politik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Syarbaini, Syahrial, 2011, Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa) Di Perguruan Tinggi. Cet.4. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

B.            Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemerintahan Daerah. No. 8 Tahun 2012, LN No. 117 Tahun 2012, TLN No. 5316

C.            Internet
Donita, “sistem pemilu di Indonesia”. http://donitadn083.blogspot.com/. Diunduh 14 Mei 2013
Izzuddin Yusuf, “Sistem Pemilu”.  http://izudinjosep.blogspot.com/2012/06/ sistem-pemilu.html#!/2012/06/sistem-pemilu.html. Diunduh 14 Mei 2013
Okta Abid, “Membincang electoral threshold”. http://infotakalar.irsyadi.com/ opinidtl.php?recordID=57. Diunduh 14 Mei 2013
Suci Rahayu Ningsih, “Sistem Pemilihan Umum di Indonesia”.  http://suci.blog. fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/. Diunduh 14 Mei 2013
Tia Satriana, “Sistem Pemilu yang Berlaku di Indonesia”. https://tahusakti. wordpress.com/2013/04/12/sistem-pemilu-yang-berlaku-di-indonesia/. Diunduh 14 Mei 2013
zakya scitter, “Makalah Sistem Pemilihan Umum di Dunia”. http://zakyascitter1. blogspot.com/2013/03/makalah-sistem-pemilihan-umum-di-dunia2163.html.Diunduh 14 Mei 2013


[1] Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.
[2] Syarbaini Syahrial, Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa) Di Perguruan Tinggi, Cetakan ke-4, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,  2011, hlm.240
[3]Ibid., hlm. 242
[4] Ibid., hlm 239
[5] Arend Lyphard, Electoral Systems and Party Systems, a Study of Twenty Seven Democracy 1945-1990, (Oxford: Oxford University Press, 1994), hlm.11-13.
[6] Budiarjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-3, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama,2008, hlm. 437
[7] Sistem ini menerapkan distrik wakil tunggal, diharapkan mampu menciptakan satu pemerintahan stabil melalui mayoritas di parlemen.
[8] Ibid 6., 482
[9] Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schunk, ed., Demokrasi di Indonesia Teori dan Praktik ( Partai Politik dan Pemilihan Umum pada Masa Pasca Otoriterisme di Indonesia), Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu,2010, hlm. 134-135
[10] Mekanismenya diatur lebih lanjut pada peraturan undang-undangan
[11] Parliamentary treshold adalah ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi Partai Politik untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar