BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemilihan
umum adalah sebuah konsekuensi dari pemerintahan yang menganut sistem demokrasi
seperti Indonesia. Pemilihan umum melibatkan seluruh lapisan masyarakat suatu
negara yang memiliki hak yang sama, yaitu setiap masyarakat yang telah memenuhi
persyaratan dalam pemilu berhak untuk memilih dan dipilih dan hasilnya
berdasarkan perolehan suara tertinggi, pemilihan umum dilakukan sebagai upaya
untuk mencapai sebuah suara politik warga negara yang diharapkan nantinya
menghasilkan berbagai kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Sistem
Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkinkan warganegara memilih
para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan dengan prosedur
dan aturan merubah (mentransformasi) suara ke kursi di lembaga perwakilan dan
suara rakyat dalam memilih pemimpin negara.
Pada
arti yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan
seperti ketua osis atau ketua kelas. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam,
mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai
kepala desa dan kepala lingkungan. Pemilu merupakan sarana langsung bagi
masyarakat yang cukup usia untuk berpartisipasi dalam memengaruhi pengambilan
keputusan.
Dikebanyakan
negara demokrasi, pemilihan umum di anggap lambang sekaligus tolak ukur dari
demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana
keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap
mencerminkan dengan akurat partisipasi serta aspirasi imasyarakat.
Sekalipun
demikiannya tersebut, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan
satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa
kegiatan lain bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan
partai, lobbying, dan sebagainya.
Tahapan
proses pemilu antara lain penetapan daftar pemilih, tahap pencalonan kandidat,
tahap kampanye, tahap pemungutan serta penghitungan suara, dan hasil perolehan
suara sehingga kita dapat menentukan kandidat yang terpilih. Sistem pemilu di
Indonesia harus sesuai dengan prinsip pemilu yang bebas, langsung, jujur, adil
dan rahasia.
Ditengah
masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan
pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali. Umumnya
yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai
politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan
calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu.
Dalam
ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya
berkisar pada beberapa prinsip pokok, yaitu :
1. Single
Member Constituency / Sistem Distrik.
Dalam
sistem ini satu wilayah kecil (distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal
atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Sistem ini merupakan sistem pemilihan
yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan
geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.
Untuk
keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil
rakyat dalam dewan perwakilan rakyat
ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara
yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon
lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana
kecil pun selisih kekalahannya. Sistem ini sering digunakan di Negara yang
memiliki sistem dwi-partai[1]
seperti Inggris dan bekas jajahannya (Amerika, India dan Malaysia).
Kelebihan
sistem distrik, yaitu :
-
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang
terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan
penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk
memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan
lebih bebas, oleh karena dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan
kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting.
-
Sistem ini lebih mendorong ke arah
integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap
distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk
menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Disamping
kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar dibendung, sistem ini
mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Du
verger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika sistem ini
telah memperkuat berlangsungnya sistem dwi partai.
-
Berkurangnya partai dan meningkatnya
kerjasama antara partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil
dan mempertingkat stabilitas nasional.
-
Sistem ini sederhana dan murah untuk
diselenggarakan.
Disamping
kelebihan, sistem distrik juga memiliki kelemahan, yaitu :
-
Sistem ini kurang memperhitungkan adanya
partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar
dalam beberapa distrik.
-
Sistem ini kurang representatif dalam
arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang
telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak
diperhitungkan sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang mengadu
kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat men capai jumlah yang besar. Hal
ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.
-
Muncul kemungkinan wakil terpilih
cenderung lebih mementingkan kepentingan distriknya dibandingkan kepentingan
nasional.
-
Umumnya kurang efektif bagi suatu
masyarakat heterogen.[2]
2. Multi
Member Constituency ( dinamakan Proportional Representation / Sistem Perwakilan
Berimbang ).
Dasar
pemikiran Proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara
pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif. Dalam
sistem ini, satu wilayah danggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu
jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan,
secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Dalam
sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh
oleh sesuatu partai atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat
ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam
daerah pemilihan lain. untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna
memperoleh kursi tambahan.
Jika
sistem distrik sering digunakan di negara yang menganut sistem dwi-partai, maka
sistem proposional banyak digunakan di negara yang menganut sistem banyak
partai seperti Belanda, Italia, Swedia, Belgia dan di negara Indonesia sendiri.
Sistem
pemilu Proporsional terbagi 2, yaitu Proporsional Daftar dan Single
Transferable Vote (STV).
ü Proporsional
Daftar
Dalam
sistem ini setiap partai memuat daftar calon-calon bagi setiap daerah/distrik
pemilihan.Calon diurut berdasarkan nomor (1, 2, 3, dan seterusnya). Pemilih
memilih partai, dan partai menerima kursi secara proporsional dari total suara
yang dihasilkan. Calon yang nantinya duduk diambil dari yang ada di daftar
tersebut. Jika kursi hanya mencukupi untuk 1 calon, maka calon nomor urut 1
saja yang masuk ke parlemen.
ü Single
Transforable Vote ( STV )
STV
menggunakan satu distrik lebih dari satu wakil, dan pemilih merangking calon
menurut pilihannya di kertas suara seperti pada Alternate Vote. Dalam memilih,
pemilih dibebaskan untuk merangking ataupun cukup memilih satu saja. Sistem ini
dipakai di Malta dan Republik Irlandia.
Kekurangan
dari Sistem Proporsional
a. Sistem
ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini
tidak menjurus ke arah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat;
mereka lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan
kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya
dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.
b. Wakil
yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan
loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal ini disebabkan oleh karena
dianggap bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya
daripada kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
c. Banyaknya
partai mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya
harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih.
Disamping
kekurangan, sistem ini juga memiliki kelebihan, yaitu :
a. Secara
konsisten mengubah setiap suara menjadi kursi yang dimenangkan, dan sebab itu
menghilangkan “ketidakadilan” seperti sistem yang didasarkan pada mayoritas
yang “membuang” suara kalah.
b. Mewujudkan
formasi calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang “satu ide”
untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan,
ideologi, atau kepemimpinan dalam masyarakat.
c. Mampu
mengangkat suara yang kalah (bergantung Threshold).
d. Memfasilitasi
partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen.
e. Membuat
partai-partai politik berkampanye di luar “basis wilayahnya.”
f. Memungkinkan
tumbuh dan stabilnya kebijakan, oleh sebab Proporsional menuntun pada kesinambungan
pemerintahan, partisipasi pemilih, dan penampilan ekonomi.
g. Memungkinkan
partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling berbagi kekuasaan.
Secara
umum perbedaaan-perbedaaan yang mendasar kedua sistem ini, dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel
1. Perbandingan Sistem Proporsional dan Sistem Distrik[3]
Sistem Ukur
|
Proporsional
Murni
|
Distrik Murni
|
1.
Daerah Pemilihan
|
1. Basis
wilayah
2. Ukuran
besar
3. Jumlah
daerah pemilihan sedikit
|
1. Basis
penduduk
2. Ukuran
kecil
3. Jumlah
daerah pemilihan banyak
|
2.
Wakil
|
1. Lebih
dari satu daerah pemilihan
2. Asas
wakil bebas
3. Hubungan
dengan pemilih melalui partai
4. Kurang/tidak
dikenal
5. Dicalonkan
oleh partai
6. Pengawasan
pemilih kurang
7. Bertanggung
jawab kepada partai
|
1. Hanya
satu daerah pemilih
2. Ada
ketentuan domisili
3. Hubungan
dengan pemilih langsung atau melalui partai
4. Diawasi
oleh pemilih
5. Dicalonkan
oleh pemilih atau partai
6. Pengawasan
pemilih kuat
7. Bertanggungjawab
kepada pemilih
|
3.
Suara
|
1. Tidak
ada yang hilang
2. Mayoritas
mutlak
|
1. Ada
yang hilang
2. Mayoritas
sederhana
|
4. Partai
|
3. Menguntungkan
partai kecil
4. Cenderung
multi partai
5. Kekuasaan
besar terhadap wakil
6. Organisasi
partai sampai setingkat desa
|
1. Merugikan
partai kecil
2. Cenderung
bipartai
3. Kekuasaan
kecil terhadap wakil
4. Organisasi
partai setingkat desa
|
5. Organisasi
pelaksana
|
Bersifat
otomon
|
Bersifat
otonom
|
6.
Sistem pemerintahan
|
1. Mengarah
kepada pemerintahan koalisi
2. Sentralisasi
|
1. Tidak
mengarah kepada pemerintahan koalisi
2. Desentralisasi
|
Sumber: LIPI
Dengan
melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem pemilihan umum tersebut,
maka muncul sistem pemilihan gabungan dari sistem Proporsional dan sistem
Distrik. Sistem ini mengakomodasikan kedua sistem pokok pemilihan umum tersebut
agar sesuai dengan situasi dan kondisi negara dalam rangka mencari sistem
pemilihan umum yang terbaik.
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana mekanisme penyelenggaraan
pemilu gabungan sistem distrik dan sistem proporsional ?
2.
Apakah alasan Indonesia menggunakan
gabungan sistem distrik dan proporsional dalam penyelenggaraan pemilu?
3.
Bagaimana proses penyelenggaraaan pemilu
gabungan sistem distrik dan sistem proporsional di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui mekenisme
penyelenggaraan gabungan sistem distrik dan sistem proporsional
2.
Untuk mengetahui alasan Indonesia
menggunakan gabungan sistem distrik dan proporsional dalam penyelenggaraan
pemilu
3.
Untuk mengetahui proses penyelenggaraan
pemilu gabungan sistem distrik dan proporsional
1.4 Manfaat Penulisan
a.
Manfaat Teoritik
Sebagai
kontribusi akademis guna mengetahui gabungan sistem distrik dan sistem
proporsional dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia
b.
Manfaat Praktis
Sebagai
kontribusi pemikiran dan masukan bagi lembaga-lembaga yang berwenang terkait
dengan sistem penyelenggaraan pemilu di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mekanisme penyelenggaraan pemilu
gabungan sistem distrik dan sistem proporsional
Secara umum terdapat bermacam-macam
sistem pemilihan umum (pemilu), namun pada umumnya terdapat 2 (dua) prinsip
pokok sistem pemilihan umum yaitu
1. Single-member
Constituency (Sistem Distrik)
2. Multi-member
Constituency (Proportional Representation/Sistem Perwakilan Berimbang)[4]
Dalam sistem distrik, satu wilayah
kecil (yaitu distrik pemilihan) memilah salah satu wakil tunggal atas dasar pluralitas
(suara terbanyak). Dalam system proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah
pemilihan) memilih beberapa wakil (multi member constituency). Perbedaan pokok
antara dua system ini ialah cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan
perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai
politik.
Namun
demikian, terdapat juga sistem dimana gabungan dari kedua sistem pokok tersebut
serta ada beberapa sistem lainnya. Gabungan dari sistem distrik dan
proporsional sering disebut dengan sistem campuran/mixed sistem. Sistem
Campuran bertujuan memadukan ciri-ciri positif yang berasal dari sistem distrik
ataupun Proporsional.
Dalam
sistem campuran, terdapat 2 sistem pemilu yang jalan beriringan, meski
masing-masing menggunakan metodenya sendiri. Suara diberikan oleh pemilih yang
sama dan dikontribusikan pada pemilihan wakil rakyat di bawah kedua sistem
tersebut. Satu menggunakan sistem distrik dan lainnya adalah Proporsional
Daftar.
Terdapat
dua bentuk sistem campuran, yaitu :
a. Mixed
Member Proportional ( MMP )
Disebut MMP Jika hasil dari dua sistem
pemilihan dihubungkan, dengan alokasi kursi di sisi sistem Proporsional
bergantung pada apa yang terjadi di sistem distrik. Kursi sistem Proporsional
dianugrahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. MMP digunakan
di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru,
dan Venezuela.
b. Paralel
Jika 2 perangkat sistem pemilihan tidak
berhubungan dan dibedakan, dan satu sama lain tidak saling bergantung. Komponen
Proporsional tidak mengkompensasikan sisa suara bagi distrik yang menggunakan
sistem distrik. Pada sistem Paralel, seperti juga pada MMP, setiap pemilih
mungkin menerima hanya satu surat suara yang digunakan untuk memilih calon
ataupun partai (Korea Selatan) atau surat suara terpisah, satu untuk kursi
sistem distrik dan satunya untuk kursi Proporsional (Jepang, Lithuania, dan
Thailand).
c. Single
Non Transferable Vote ( SNVT )
Di dalam SNTV, setiap pemilih memiliki
satu suara bagi tiap calon, tetapi (tidak seperti Distrik) adalah lebih dari
satu kursi yang harus diisi di tiap distrik pemilihan. Calon-calon dengan total
suara tertinggi mengisi posisi. SNTV digunakan di untuk pemilihan badan
legislatif di Afghanista, Yordania, Kepulauan Pitcairn dan Vanuatu, untuk
pemilihan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia dan Thailand, serta 176 dari 225
kursi di Taiwan yang menggunakan sistem Paralel.
d. Borda
Count
Borda
Count adalah sistem yang digunakan di Nauru (sebuah negara di Pasifik). Sistem
ini adalah sistem pemilihan preferensi dimana pemilih merangking kandidat
seperti pada Altenative Vote. Ia dapat digunakan pada distrik dengan satu atau
lebih wakil. Hanya satu yang dipilih, tidak ada eliminasi. Rangking pertama
diberi nilai 1, ranking kedua diberi nilai 1/2 , rangkin ketiga diberi nilai
1/3 dan seterusnya. Kandidat dengan total nilai tertinggi dideklarasikan
sebagai pemenang.
Beberapa
varian sistem pemilu yang lebih dekat ke sistem distrik yaitu :
a.
Block Vote ( BV )
Sistem
ini adalah penerapan pluralitas suara dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil.
Pemilih punya banyak suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi di
distriknya, juga mereka bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai
politiknya.Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai
kemauan pemilih sendiri.
b.
Alternative Vote ( AV )
Alternate
Vote (AV) sama dengan Sistem Pemilu Distrik sebab dari setiap distrik dipilih
satu orang wakil saja. Bedanya, dalam AV pemilih melakukan ranking terhadap
calon-calon yang ada di surat suara (ballot). Misalnya rangking 1 bagi
favoritnya, rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketida,
dan seterusnya. Oleh sebab itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan
mereka di antara kandidat yang ada, daripada hanya memilih 1 saja seperti di
sistem distrik.
c.
Two Round Sistem ( TRS )
Two
Round Sistem (TRS) adalah sistem pemilu yang juga didasarkan pada
pluralitas/mayoritas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika pemilu
tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan sebelumnya
(50% + 1). TRS menggunakan sistem yang sama dengan sistem distrik / sistem BV.
Dalam TRS, calon atau partai yang menerima proporsi suara tertentu memenangkan
pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jika
suara yang diperoleh pemenang tidak mayoritas.
Sistem pemilihan umum Proporsional
dan Distrik ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sehingga muncullah
konsep baru yaitu gabungan antara sistem Distrik dan Proporsional yang
mengakumulasikan kedua konsep ini sehingga kekurangannya dapat diperkecil dan
memperbesar keuntungannya.
Negara yang mencoba
mengakumulasikan kedua sistem ini yaitu Singapura, Jepang, Jerman, Swedia,
Italia, Indonesia dan negara-negara lainnya. Kasus yang paling menarik dan
gamblang adalah Jerman,yang pada masa lampau mempunyai terlalu banyak partai
dengan memakai sistem proporsional murni, dewasa ini menggabung kedua sistem
dalam pemilihan umumnya.
Setengah dari parlemen
dipilih dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan sistem proporsional.
Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih calon atas dasar sistem distrik
(sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih partai atas dasar sistem
proporsional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini diharapkan distorsi
tidak terlalu besar efeknya.
Selain
itu, di Jerman dan beberapa negara dengan banyak partai ada usaha untuk
mengurangi jumlah partai yang akan memperoleh kursi dalam parlemen melalui
kebijakan electoral threshold [5]
Konsep ini menetukan jumlah suara minimal yang diperlukan oleh suatu partai
untuk memperoleh kursi dalam parlemen, misalnya 5 %.
Negara-negara
lain yang menentukan electoral threshold
adalah Swedia, Italia (4%) dan Indonesia (mulai 2004) untuk pemilihan badan
legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan untuk pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehkan suara sah secara nasional.[6]
Dari berbagai contoh tersebut, diketahui
bukan hanya Indonesia yang bermasalah dalam sistem pemilihan umum yang paling
baik baginnya. Baik sistem Distrik maupun Proporsional memiliki segi positif
dan negatif tersendiri. Sehingga setiap negara harus menentukan ciri mana dari
sistem mana yang dianggap terbaik bagi negaranya.
Dengan mempertimbangkan keadaan situasi
dan kondisi negaranya. Sehingga dewasa ini sistem pemilihan Distrik dan
Proporsional tidak lagi murni melainkan mengalami perubahan sesuai dengan
kondisi negara yang menganutnya.
2.2 Alasan Indonesia menggunakan
gabungan sistem distrik dan proporsional dalam penyelenggaraan pemilu
Sistem
pemilihan umum yang diterapkan di Indonesia adalah sistem Proporsional semi
sistem distrik. Hal ini dapat terlihat dalam pemilihan umum Indonesia pada
tahun 2004 hingga pemilu 2009. Penerapan ini dikarenakan kultur masyarakat
majemuk serta pluralis dan kondisi perpolitikan Indonesia yang belum dewasa
dalam menstabilisasikan perpolitikan nasional.
Pada
Pemilihan Umum, Indonesia menerapkan sistem distrik untuk pemilihan anggota
Legislative Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana dalam sistem Distrik ini tiap
provinsi memiliki beberapa kursi yang diperebutkan oleh calon legislator, tidak
seperti di sistem proporsional, suara yang kalah dalam pemilihan tidak dapat
dialihkan ke calon legislator yang lain walaupun dari partai yang sama.
Penerapan
Proporsional pada pemilihan Legislative Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilh dapat memilih wakilnya tanpa harus
langsung memilih calon Legislatornya tetapi dapat melalui partainya, dan calon
yang berada di urutan teratas berpeluang besar untuk mendapatkan suara dari
partai terpilih oleh pemilih.
Sistem
Semi proporsional ini adalah Sistem yang mengonversi suara menjadi kursi dengan
hasil yang berada di antara sistem pemilihan proporsional dengan mayoritarian
dari sistem plural-majorit[7].
Dan sistem Semi proporsional ini adalah gabungan atau kombinasi antar
varian-varian Sistem Distrik dan Sistem Proporsional.
Sistem
semi Proporsional juga memiliki sistem yang mengkombinasikan varian dari sistem
Distrik dan Sistem Proporsional, seperti sistem Parallel (Parallel System),
Limited Vote, dan Single Non-Transferable.
-
Sistem Parallel (Parallel System) ialah
system yang menggunakan daftar-daftar calon seperti pada sistem representasi
proporsional yang digabungkan dengan sistem distrik plural-majority.
-
Sistem Limited Vote, sistem campuran
antara sistem pemilihan single non-transferable vote dengang sistem pemilihan
Block Vote, karena menyertakan distrik wakil majemuk dan calon legislatif.
-
Sistem pemilihan single non-transferable
vote. Setiap pemilih punya 1 suara, tetapi ada lebih 1 kursi yang harus diisi
dalam setiap distrik. Jadi calon legislatif dan partai dengan suara
terbanyaklah yang mengisi posisi legislatif.
Kedua
macam sistem pemilihan umum di atas dirancang secara seksama untuk memenuhi
kondisi sosio-politik suatu negara, makanya setiap sistem pemilihan umum yang
dikonstruksi oleh suatu negara seharusnya berorentasi untuk mengembangkan
kebermaknaan politik, bukan berorentasi pada kepentingan atas pemenuhan
pertahanan status-quo.
Indonesia sejak awal kemerdekaan telah mengalami beberapa
perubahan dalam sistem pemilihan umumnya, mulai dari sistem proporsional,
proporsional tertutup, proporsional terbuka sampai kepada pertimbangan
diadakannya sistem distrik.
Akan tetapi, sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem
pemilihan umum di Indonesia, bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. Hal
ini tak lepas dari realitas yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa
mengubah sistem pemilu itu merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu
dapat memungkinkan jika terdapat perubahan politik yang radikal.
Di Indonesia sendiri sistem Proporsional telah mengalami
perubahan-perubahan yakni dari perubahan proporsional tertutup menjadi sistem
proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional daftar terbuka.
Pemilihan umum tetap menggunakan sistem proporsional dengan
alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup
besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan banyak
kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil. Dengan sistem
proporsional kita dapat mengurangi masalah renggangnya ikatan antara wakil rakyat dengan konstituennya dan
dipihak lain, dapat menghindari bias terhadap partai kecil.[8]
Disamping itu sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang
terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang diputuskan oleh para wakil yang duduk di
DPR. Para wakil tersebut berpandangan bahwa sistem proporsional itu lebih
menguntungkan dari pada sistem distrik.
Pemilu 2004 mengadopsi sistem daftar terbuka untuk memilih
anggota-anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan menggunkan
konstituensi multi-anggota untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah. Dalam
sistem daftar terbuka, para pemilih memilih partai dan sekaligus kandidiat
tertentu. Dalam sistem konstituensi multi-anggota, pemilih memilih langsung
calon-calon anggota dewan perwakilan daerah.
Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar
Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah
kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai
politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu
Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota
DPD (Dewan Perwakilan Rakyat), digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single
Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan
sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua
Putaran).
Ide utama dari sistem ini adalah untuk membuat wakil rakyat
lebih dikenal di daerah-daerah pemilihan mereka. Dengan ide ini diharapkan
wakil rakyat akan bertanggung jawab kepada konstituen mereka. Jika mereka
berada diparlemen mereka akan benar-benar memenuhi harapan rakyat.[9]
2.3 Proses penyelenggaraaan pemilu
gabungan sistem distrik dan sistem proporsional di Indonesia
Sejak
kemerdekaan sampai pada tahun 2013, Indonesia telah melakukan 10 kali pemilihan
umum yaitu pemilihan umum 1995, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004
dan 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun
1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional, adanya usulan sistem pemilihan
umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak.
Sistem
pemilihan umum yang digunakan pun cenderung mengalami perubahan setiap kali
pemilu, hal ini sesuai dengan dinamika masyarakat yang menuntut perbaikan dari
proses penyelenggaran pemilu dan dalam rangka mencari sistem pemilihan umum
yang cocok untuk Indonesia.
Indonesia
menggunakan gabungan sistem distrik dan proporsional seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
pasal 5 yaitu:
Pasal
5
(1)
Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
(2)
Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil
banyak.
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004
dan 2009 terdapat perubahan terhadap
sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di
indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka.
Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa
orde baru.
Pada orde baru yang menjadi daerah
pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan
suara di dalam satu provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai
daerah pilihan namun sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi
kursi dari partai peserta pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di
masing-masing provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari
masing-masing kabupaten /kota.
Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak
lagi provinsi melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah
pemilihan yang mencangkup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka
Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan,
Sulawesi Utara dan Tenggara, Gorontalo,
Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. Masing-masing daerah pilihan
mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan
untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan
terhadap kontestan.
Pada pemilu 1999 dan orde baru para
pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. Pada tahun 2004 para
pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos
calonnya, hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa
yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda
di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi
jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP)[10],
dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa
yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan
para perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun
di luar nomor urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem proporsional semi daftar terbuka
sendiri pada dasarnya merupakan hasil sebuah kompromi. Dalam pembahasan RUU
mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak
sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta
pemilu. Memang jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi
otoritas partai didalam menyeleksi caleg mana saja yang dipandang lebih pantas
duduk di DPR dan DPRD. Tetapi tiga
partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka
secara bebas melainkan setengah terbuka.
Perubahan-perubahan desain kelembagaan
seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. Ada beberapa
penyebab diantaranya yaitu pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka
memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih
mudah.
Selain itu, dilihat dari tingkat keterwakilan
masih mengandung masalah. Permasalahan ini khususnya berkaitan dengan
perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR dan DPRD kepada
partai-partai. Disisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu
dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan.
Mengingat sistem, hal ini terkait dua hal
yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan
yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat
keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi. Implikasinya
adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata
BPP nasional tetapi ada juga yang berada
dia atas BPP nasional.
Mengingat sistem pemilu yang sudah dimodifikasi
dan mengalami sedikit perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan,
terdapat usul untuk melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. Jika pada
pemilu 2004 sudah dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu
selanjutnya usulan digunakannya sistem daftar terbuka.
Dalam sistem ini digunakan nomor urut didalam
daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana yang
mewakili partai didalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang
memenuhi BPP yang dijadikan ukurannya adalah calon yang memperoleh suara
terbanyak.
Sistem ini baik untuk partai karena semua
calon akan berkerja keras untuk partainya, rakyat juga mendapatkan pilihan yang jelas. Sebab siapa
yang paling banyak mendapat suara akan masuk ke parlemen tanpa memakai nomor
urut yang kriterianya tidak sering jelas dan menjadi sumber politik uang.
Sistem ini juga mendapat dukungan dari
PAN akan tetapi PDIP menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan
menghapuskan nomor urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap
mendeligitimasi keberadaan partai. Demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR)
menurutnya sistem terbuka tanpa nomer urut dapat di lakukan secara teoritis
tapi sulit praktiknya. Perdebatan semacam itu telah di selesaikan di dalam UU
pemilu No 10 tahun 2008.
UU ini merupakan aturan dasar untuk
pemilu 2009 di dalam UU ini memang disebutkan bahwa pada pemilu 1999 Indonesia
menganut sistem daftar terbuka, tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut
sistem semi daftar terbuka. Hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang
memperoleh suara terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih
menjadi wakil.
Tetapi yang membedakan dengan pemilu 2004
adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang memperoleh suara min 30% dari BPP
memiliki kesempatan mewakili partai di dalam perolehan porsi meskipun tidak
berada dinomor urut jadi. Di samping itu pemilu 2009 juga memperkuat tuntutan
pemberian kepada perempuan semua partai wajib menyertakan calon perempuan
sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus perempuan. tetapi aturan wajib
ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas manakala ada partai-partai yang
melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di
dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian
MK mengabulkan tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan
kursi kepada partai-partai yang memperoleh kursi.
Keputusan ini menjadikan sistem pemilu di
Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar
terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi anggota DPR dan atau DPRD
dari partai yang memperoleh alokasi kursi.
Akibat dari perubahan-perubahan itu,
pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu selanjutnya memiliki
konsekuensi-konsekuensi tersendiri. Pertama, kompetisi partai semakin kuat
seiring di berlakukannya parliementary
threshold[11].
Parliementary threshold adalah
dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan di tingkat
pusat, multipartai didalam pemerintahan didaerah dan dipemilu. Hasil pemilu
2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursidi DPR karena lolos parliementary threshold dan tidak
sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPR tetapi mendapat
kursi di DPRD.
Hal ini dikarenakan ketentuan PT hanya
berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas ini memperkuat pandangan bahwa
aturan main didalam sistem pemilu itu mewakili implikasi yang cukup besar pada
alokasi kursi atau perwakilan dan kekuatan-kekuatan politik yang ada dan
pengecilan besaran daftar pilih untuk pemilu anggota DPR.
Kedua, kompitisi internal partai semakin
tinggi. Kompitisi akhir ini mencangkup kompitisi antarcalon di dalam setiap
Dapil dan antar calon laki-laki dan
perempuan. Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi
menggunakan mekanisme (suara terbanyak).
Kompetisi antar partai dan antar calon di
internal partai itu lebih mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye
berlangsung lebih lama, setelah ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan
calon bisa langsung melaksanakan kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di
berlakukannya
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tiap – tiap negara menganut sistem pemilu yang berbeda satu
dengan yang lainnya dengan penerapan sesuai dengan konstitusi masing – masing negara,
yang juga melihat dari kondisi suatu negara tersebut. Seperti Indonesia, dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia
yang cukup besar, maka dipandang Indonesia lebih pas menggunakan sistem pemilu
proporsional dibandingkan sistem distrik. Oleh karena terdapat kekhawatiran
ketika sistem distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak
terwakili khususnya kelompok kecil.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia
telah mengalami pasang surut dalam sistem pemilu. Dari pemilu terdahulu hingga
sekarang dapat diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum
yang cocok untuk Indonesia. Sejak awal pemerintahan yaitu demokrasi
parlementer, terpimpin, pancasila dan reformasi, dalam kurun waktu itulah
Indonesia telah banyak mengalami transformasi politik dan sistem pemilu.
Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun
1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional, adanya usulan sistem pemilihan
umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak.
Pada Pemilihan Umum, Indonesia menerapkan sistem distrik untuk
pemilihan anggota Legislative Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana dalam
sistem Distrik ini tiap provinsi memiliki beberapa kursi yang diperebutkan oleh
calon legislator, tidak seperti disistem proporsional, suara yang kalah dalam
pemilihan tidak dapat dialihkan ke calon legislator yang lain walaupun dari
partai yang sama.
Sistem Semi proporsional ini adalah Sistem yang mengonversi
suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara sistem pemilihan
proporsional dengan mayoritarian dari sistem plural-majorit. Dan sistem Semi
proporsional ini adalah gabungan atau kombinasi antar varian-varian Sistem
Distrik dan Sistem Proporsional
Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan
rakyat Indonesia. Di pemilu 2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia
memilih presidennya secara langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya
serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah
Indonesia.
Pemilu 2004 menggunakan sistem pemilu yang berbeda-beda,
bergantung untuk memilih siapa. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih
presiden, anggota parlemen (DPR, DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan
Perwakilan Daerah). Untuk ketiga maksud pemilihan tersebut, terdapat tiga
sistem pemilihan yang berbeda.
Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar
Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah
kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik
di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu
Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota
DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote
(SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan
Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).
Di Indonesia sendiri sistem pemilu sudah mengalami perubahan
dari sistem tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem
proporsional terbuka.
Upaya memperbaiki penyelenggaraan Pemilu ini merupakan bagian
dari proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) serta
upaya mewujudkan tata pemerintahan presidensiil yang efektif. Agar tercipta
derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan
yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka
penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu
ke waktu.
3.2 Saran
Indonesia dalam
penyelenggaraan pemilu sejatinya masih mencari sistem pemilihan umum mana yang
cocok diterapkan di Indonesia. Inti dari pemilihan umum adalah mencari
perwakilan rakyat yang dapat memperjuangkan aspirasi rakyat. Sehingga apapun
sistem pemilu yang digunakan, diharapkan dapat terpilih wakil-wakil rakyat yang
dapat benar-benar “merakyat” melihat aspirasi rakyat dan memperjuangkan rakyat.
Penggunaan sistem
proporsional terbuka yang dilakukan di Indonesia memberikan keterbukaan kepada
rakyat agar dapat memilih sendiri caleg-caleg yang akan duduk di parlemen. Hal
ini baik, namun sisi lainnya penggunaan sistem proporsional terbuka membuat
partai seringkali terjebak dalam pragmatisme politik, yaitu caleg dipilih hanya
karena 2 alasan, yaitu popoler dan bermodal.
Tugas pemerintah dan
rakyat Indonesia dalam hal ini adalah meningkatkan pendidikan dan kesadaran politik
agar masyarakat menjadi tanggap dan kritis akan calon-calonnya yang akan duduk
di kursi parlemen.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Buku
Budiarjdo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet.3.
Jakarta: Pnerbit Gramedia Pustaka Utama
Hadiwinata, Bob Sugeng dan Schunk,
Christoph. Ed. Demokrasi di Indonesia
Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010
Syafiie, Inu Kencana, 2000, Ilmu Politik. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Syarbaini, Syahrial, 2011, Pendidikan Pancasila (Implementasi
Nilai-Nilai Karakter Bangsa) Di Perguruan Tinggi. Cet.4. Bogor: Penerbit
Ghalia Indonesia.
B.
Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Pemerintahan Daerah. No. 8 Tahun 2012, LN No. 117
Tahun 2012, TLN No. 5316
C.
Internet
Izzuddin Yusuf, “Sistem
Pemilu”. http://izudinjosep.blogspot.com/2012/06/
sistem-pemilu.html#!/2012/06/sistem-pemilu.html. Diunduh 14 Mei 2013
Okta Abid, “Membincang electoral
threshold”. http://infotakalar.irsyadi.com/ opinidtl.php?recordID=57.
Diunduh 14 Mei 2013
Suci Rahayu Ningsih, “Sistem
Pemilihan Umum di Indonesia”. http://suci.blog.
fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/. Diunduh 14 Mei 2013
Tia Satriana, “Sistem Pemilu yang
Berlaku di Indonesia”. https://tahusakti. wordpress.com/2013/04/12/sistem-pemilu-yang-berlaku-di-indonesia/.
Diunduh 14 Mei 2013
zakya scitter, “Makalah Sistem
Pemilihan Umum di Dunia”. http://zakyascitter1. blogspot.com/2013/03/makalah-sistem-pemilihan-umum-di-dunia2163.html.Diunduh
14 Mei 2013
[1]
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya diartikan
bahwa ada dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua
tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian
mempunyai kedudukan dominan.
[2]
Syarbaini Syahrial, Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter
Bangsa) Di Perguruan Tinggi, Cetakan ke-4, Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2011, hlm.240
[3]Ibid.,
hlm. 242
[4] Ibid.,
hlm 239
[5] Arend
Lyphard, Electoral Systems and Party Systems, a Study of Twenty Seven Democracy
1945-1990, (Oxford: Oxford University Press, 1994), hlm.11-13.
[6] Budiarjo
Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-3, Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama,2008, hlm. 437
[7]
Sistem ini menerapkan distrik wakil tunggal, diharapkan mampu menciptakan satu
pemerintahan stabil melalui mayoritas di parlemen.
[8] Ibid 6.,
482
[9] Bob
Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schunk, ed., Demokrasi di Indonesia Teori dan Praktik ( Partai Politik dan Pemilihan
Umum pada Masa Pasca Otoriterisme di Indonesia), Yogyakarta: Penerbit Graha
Ilmu,2010, hlm. 134-135
[10] Mekanismenya
diatur lebih lanjut pada peraturan undang-undangan
[11]
Parliamentary treshold adalah ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi
Partai Politik untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar