Pendahuluan
Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang “Pemerintahan daerah” dan Undang–Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang
“Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah” akan memberikan
peluang bagi pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur rumah tangga sendiri
serta merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mengacu pada
pedoman yang ada,pelaksanaan proyek-proyek pembagunan APBD pada hakekatnya
merupakan salah satu instrument kebijakan yang di pakai sebagai alat untuk
menigkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat di daerah.
Pemberian kewenangan (devolution of authority) kepada
unit-unit atau satuan pemerintah yang lebih rendah dan lebih kecil merupakan
kebutuhan yang mutlak dan tidak dpat di hindari. Mengingat begitu tinggi
tingkat fragmentasi social dalam sebuah Negara, maka ada hal-hal tertentu yang harus
diselenggarakan secara lokal, dimana pemerintah daerah akan lebih baik
menyelenggarakan ketimbang dilakukan secara nasional dan sentralistik.
Pemerintah nasional dalam hal ini akan berfungsi menyiapkan pedoman-pedoman
umum yang dijadikan parameter bagi penyelengaraan pemerintahan agar pemerintah
daerah tidak menyimpang dari prinsip Negara kesatuan.
Dengan
desentralisasi diharapkan akan mampu menghasilkan pemerintah daerah otonom yang
efisien,efektif,akuntabel,transparan, dan responsive secara berkesinambungan.
Upaya-upaya ini jelas akan mewujudkan suatu proses pembagunan yang
berkelanjutan (sustainable development)
dengan tingkat efektivitas yang tinggi demi kemakmuran bangsa dan Negara.
Mengiringi dinamika politik yang
berkembang sejak awal era reformasi khususnya berkaitan dengan diberlakukannya
UU nomor 22 tahun 1999 bermunculan keinginan berbagai daerah untuk memekarkan
diri membentuk daerah otonom baru. Untuk itu pemerintah menerbitkan PP nomor
129 tahun 2000 tentang Pemekaran Daerah yang mengatur antara lain tentang
instrumen prosedural dan instrument persyaratan pemekaran daerah.
Fenomena pemekaran daerah telah
menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh
masyarakat, pejabat pemerintah, dan di antara para pakar. Mereka memperdebatkan
manfaat ataupun kerugian yang timbul dari banyaknya wilayah yang dimekarkan.
Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak.
Ada yang menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic
and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan
dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Hal ini
menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh
lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit
di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi
Di sisi lain, banyak pula argumen
yang diajukan untuk mendukung pemekaran, yaitu antara lain adanya kebutuhan
untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat,
serta memberi kesempatan pada daerah untuk melakukan pemerataan pembangunan.
Alasan lainnya adalah diupayakannya pengembangan demokrasi lokal melalui
pembagian kekuasaan pada tingkat yang lebih kecil. Terlepas dari masalah pro
dan kontra, perangkat hukum dan perundangan yang ada, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah, memang masih dianggap memiliki banyak
kekurangan. Hal inilah yang mengakibatkan mudahnya satu proposal pemekaran
wilayah pemerintahan diloloskan.
Permasalahan Otonomi Daerah
Era otonomi daerah yang bergulir
sejak tahun 2001, memunculkan banyak tantangan sulit yang harus dihadapi
pemerintah dalam tahun terakhir dan mendatang. Tantangan tersebut dapat berupa
kekacauan ekonomi, perubahan nilai privatisasi, pelayanan publik, efektivitas
dan efesiensi anggaran, batas pungutan pajak dan tuntutan pensejahteraan
masyarakat. Gejolak yang semakin meningkat dan saling bertautan ini memerlukan
tanggapan serius dari pemerintah pusat dan daerah.
Pertama,
pemerintah harus berfikir strategis yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Kedua, pemerintah harus menerjemahkan inputnya untuk strategis yang efektif
untuk menenggulangi lingkungan yang terbuka. Ketiga, pemerintah harus
mengembangkan alasan yang yang diperlukan untuk meletakkan landasan bagi pemakai
dan pelaksanaan strateginya.
Wujud usaha yang dilakukan oleh
pemerintah adalah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah,
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
daerah. Undang-Undang tersebut menjelaskan konsep otonomi daerah, akuntabilitas
dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan tersebut, pemerintah daerah berkewajiban menetapkan visi,
misi, tujuan, strategi, program dan kegiatan daerah yang terlebih dahulu harus mendapatkan
pengesahan dari DPRD masing-masing kabupaten/kota.
Pergeseran yang signifikan terhadap
pengelolaan keuangan daerah menuntut kemandirian daerah mengatur rumah
tangganya dengan berbagai strategi, alokasi dan prioritas belanja. Fakta
dilapangan menunjukan bahwa lemahnya perencanaan pengalokasian belanja
memunculkan ketidakefesienan kinerja pemerintah. Ketidakefesienan kinerja
pemerintah dikarenakan kurang transparan, kurang benar, kurang cepat dan kurang
akurat dalam menyusun akuntabilitas. Hal ini akan membuka kemungkinan
terjadinya penyelewengan, penyimpangan, penyalahgunaan kekuasaaan, korupsi,
kolusi, nepotisme dan tindakan negatif lainnya.
Pada
masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah
justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut
tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut. Tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak
menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa
permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak
sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-masalah
tersebut antara lain yaitu:
1. Adanya
eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah
satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada
alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini
sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan
melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah.
Upaya
ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk
melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar
seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan
menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah
juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
2. Pemahaman
terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
Tujuan
otonomi daearah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu
dalam menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan
mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil
manfaat dari padanya. Pemerintah hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan
makro nasional yang bersifat strategis.
Periode
yang tengah dialami oleh Indonesia pasca dikeluarkannya UU No. 22/ 1999 yaitu
periode transisi atau masa peralihan sistem. Artinya, secara formal sistem
telah berubah dari sentralistik menjadi desentralisasi. Tetapi, mentalitas dari
aparat pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum mengalami perubahan yang
mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak dibarengi penguatan
kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem pemerintahan yang baru.
Pelayanan
publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri
untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat “sebagai pengguna jasa” adalah pelayanan
publik yang ideal. Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai
dengan asas desentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari
aparat birokrasi sebagai unsur utama dalam pencapaian tata pemerintahan lokal.
3. Penyediaan
aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
UU
No 22/1999 dan UU No 25/1999 memberikan kerangka yang cukup ideal bagi
terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah.
Namun, praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya
memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab
utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama,
pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada
pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran
pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak
lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus
disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan
pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua
UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat
daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.
Kedua,
desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan
sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat
kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen
kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan
di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal
ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan
otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di
berbagai daerah.
Secara
formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran
empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan
penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam
termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.
Intervensi
pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya
dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan. Pusat melakukan
penganggaran pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di
daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana
perimbangan untuk APBD.
4. Kondisi
SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnyapelaksanaan otonomi
daerah
Penyelenggaraan
otonomi daerah yang sehat dapat di wujudkan pertama-tama dan terutama
ditentukan oleh kapasitas yang dimiliki manusia sebagai pelaksananya. Penyelenggaraan
otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabila manusia
pelaksananya baik, dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya.
Pentingnya
posisi manusia pelakana ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam
organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi
pemerintahan. Oleh sebap itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang
kurang memadai dengan sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan
bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Manusia pelaksana pemerintah daerah dapat
di kelompokkan menjadi:
-
Pemerintah daerah yang
terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD)
-
Alat-alat perlengkapan
daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah
-
Rakyat daerah yakni
sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber energi
terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
5. Korupsi
di Daerah
Fenomena
lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan
implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke
daerah. Sinyal elemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa
banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang
rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai
terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas
eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada
sebelumnya.
Sumber
praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan
barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah
item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian
pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang
berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga kepada pejabat
daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari dulu.
6. Adanya
potensi munculnya konflik antar daerah
Ada
gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu konflik horizontal
yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota, sebagai
akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa
tidak ada hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota,sehingga
pemerintah kabupaten / kota menganggap kedudukannya sama dan tidak taat kepada
pemerintah provinsi. Ada arogansi pemerintah kabupaten /kota, karena tidak ada
sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah kabupaten /kota.
Selain
itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Paham pelimpahan
wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama
dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah
menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan
ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi
sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam
menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah
tersulut.
Di
era otonomi darah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana.
Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang
berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten
pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI
semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya
disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar
karena melalui otonomi daerah campur tangan
asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui otonomi
daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-kampung.
Pemekaran Wilayah
Di
Indonesia, pola perkembangan wilayah sebelum tahun 1998 mengalami perubahan
sejak bergulirnya era reformasi setelah tahun 1998. Fenomena tersebut merupakan
konsekuensi dari perubahan kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi
(otonomi daerah). Kebijakan tersebut
tertuang dalam UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian
diganti dengan UU No. 32 tahun 2004. Dalam rangka implementasi kebijakan
tersebut maka dikeluarkan PP No. 129 tahun 2000 tentang persyaratan dan tata
cara pembentukan daerah otonom baru, penghapusan dan penggabungan daerah
otonom. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diganti dengan PP No. 78 tahun
2007.
Kebijakan
otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dalam naungan wilayah NKRI yang semakin kokoh melalui strategi
pelayanan kepada masyarakat yang semakin efektif dan efisien dan adanya
akselerasi pertumbuhan dan perkembangan potensi daerah yang semakin cepat.
Dalam bahasa yang sederhana yaitu untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil
dan lebih merata.
Masing
masing daerah otonom didorong dan dipacu untuk tumbuh dan berkembang secara
mandiri sesuai kewenangan yang diberikan untuk mengelola potensi daerahnya
masing masing. Dengan demikian diharapkan bangsa Indonesia di masa datang akan
lebih mampu bersaing dengan bangsa bangsa lain di dunia dalam persaingan global
yang semakin ketat.
Seiring
dengan perjalanan implementasi kebijakan otonomi daerah di Indonesia muncul
berbagai persoalan yang memerlukan usaha usaha perbaikan baik dalam substansi
peraturan perundangan maupun teknis pelaksanaan di lapangan. Beberapa masalah
yang dipandang sangat penting untuk segera diatasi adalah (Kemendagri, 2010):
-
Dalam kurun waktu 10
tahun sejak tahun 1999 telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 205 buah
yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota. Dengan perkataan lain
terjadi peningkatan 64% dari jumlah
daerah otonom tahun 1998 atau secara rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah
otonom baru.
-
Banyaknya daerah otonom
baru tersebut memiliki implikasi terhadap semakin besarnya dana pembangunan daerah
otonom baru yang dialokasikan dari APBN. Pada tahun 2002 dialokasikan DAU
sebesar Rp. 1.33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp. 2.6 triliun dan pada tahun
2010 sebesar Rp. 47.9 triliun.
-
Beberapa fakta yang
dijumpai antara lain adalah adanya daerah otonom baru ternyata memiliki jumlah
penduduk sangat sedikit bahkan ada sebuah daerah otonom kabupaten baru hanya
berpenduduk kurang dari 12.000 jiwa. Fakta lain adalah jumlah dan kualitasSDM
sebagai personil Pemerintah Daerah sangat minim, kurang tersedianya prasarana
dan sarana pemerintahan dan munculnya berbagai konflik masyarakat lokal yang
mengiringi proses otonomi daerah antara lain akibat persoalan batas wilayah.
Hal
hal di atas adalah sebagian masalah yang timbul pada saat awal digulirkannya
kebijakan otonomi daerah dan pemekaran daerah berdasarkan perangkat UU dan
peraturan pelaksanaannya. Perangkat peraturan pelaksanaannya inilah yang
kemudian perlu disempurnakan sebagai salah satu alternatif untuk menghindari
timbulnya masalah yang sama di masa yang akan datang.
Berdasarkan
hasil evaluasi terhadap daerah otonom hasil pemekaran daerah selama kurun waktu
10 tahun yang dipandang kurang memuaskan maka dicanangkan kebijakan
pemberhentian sementara (moratorium) terhadap pembahasan usulan daerah otonom
baru pada tahun 2010. Seiring dengan keputusan moratorium tersebut dilakukan
upaya komperhensif untuk menata kembali daerah otonom yang sudah ada dan secara
khusus menetapkan strategi untuk menangani usulan daerah otonom baru antara
lain dengan menetapkan persyaratan teknis meliputi parameter dan indikator yang
harus dipenuhi.
Pada
tahun 2011 secara administratif wilayah Indonesia terbagi dalam 33 provinsi,
398 kabupaten dan 93 kota. Berdasarkan luasnya, wilayah provinsi paling kecil
adalah provinsi Bali dan DI Yogyakarta, sedangkan yang paling luas adalah
provinsi provinsi di Kalimantan kecuali Kalimantan Selatan dan Papua. Wilayah
wilayah provinsi yang paling luas inilah, dari segi luas wilayah, memiliki
potensi untuk dimekarkan di masa datang.
Pemekaran Daerah Periode 1999-2011
Sejak
era reformasi tahun 1998, potret pembangunan wilayah di Indonesia mengalami
perubahan yang signifikan. Kewenangan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali
kota) dalam mengembangkan wilayah tercermin dari berbagai kebijakan yang tertuang
dalam peraturan daerah (perda) sesuai UU Otonomi Daerah.
Pelaksanaan
kegiatan pembangunan didasarkan pada rencana pembangunan daerah dan rencana
pembangunan idealnya disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah. Rencana
tata ruang wilayah sebagai pedoman dalam pengelolaan wilayah disusun
berdasarkan keinginan dan harapan rakyat (seluruh stake holder/pemangku
kepentingan), yang secara sederhana disebut sebagai cerminan “visi” yang
ditetapkan pemerintah daerah.
Rencana
tata ruang wilayah (RTRW) adalah potret kondisi wilayah yang diharapkan di masa
depan, sekaligus dapat memberikan gambaran bagaimana tingkat kesejahteraan
rakyat yang ingin dicapai. Dokumen RTRW biasanya dilengkapi dengan deskripsi
bagaimana strategi dan cara mencapainya. RTRW disusun dengan berpedoman pada
rencana tata ruang nasional, artinya apabila RTRW seluruh kabupaten dan kota
dirangkai menjadi satu kesatuan maka akan tampak mosaik rencana tata ruang
nasional. Wajah wilayah Indonesia masa depan dapat dilihat melalui hasil mosaik
tersebut.
Salah
satu dokumen RTRW adalah peta dan salah satu peta yang memberikan informasi
acuan pengelolaan wilayah adalah peta zonasi atau peta kawasan. Peta RTRW
tersebut disusun dalam skala yang berbeda-beda sesuai kebutuhan informasi yang
disajikan. Oleh karena peta RTRW sangat penting sebagai acuan pengambilan
kebijakan pemerintah daerah dalam mengembangkan wilayahnya maka setiap daerah
otonom harus memiliki peta RTRW.
Hasil
evaluasi yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri menyebutkan, di samping
persoalan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang dialokasikan dengan
hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah otonom baru serta munculnya konflik
horisontal yang cenderung semakin meningkat, ternyata masalah di atas juga
disebabkan oleh lemahnya aturan persyaratan dan pentahapan pembentukan daerah
otonom baru.
Oleh
karena itu pemerintah memandang perlu mengeluarkan kebijakan penghentian
sementara (moratorium) pemekaran daerah sekaligus berupaya melakukan
penyempurnaan aturan pemekaran daerah, salah satu diantaranya menyempurnakan
ketentuan persyaratan minimal untuk daerah otonom baru.
Perkembangan Pemekaran Daerah
Telah
dikemukakan bahwa sejak tahun 1999 jumlah daerah otonom telah berkembang pesat
dari 319 daerah otonom menjadi 524 daerah otonom (provinsi, kabupaten, kota). Dapat
disimpulkan bahwa secara rata rata dalam kurun waktu 10 telah lahir lebih dari
20 daerah otonom baru tiap tahunnya. Hal ini berarti telah terjadi wilayah
wilayah baru yang secara cepat mengalami perkembangan sebagai hasil pembangunan
dengan memanfaatkan bantuan pendanaan khusus dari pemerintah pusat.
Perkembangan
wilayah pada daerah daerah otonom baru sampai saat ini umumnya masih tergantung
bantuan pendanaan dari pemerintah. Jika ditinjau secara teoritis
desentralisasi, setelah ada keputusan politik untuk membentuk daerah otonom
baru maka pemerintah (pusat) wajib memenuhi kebutuhan dana pembangunan sampai
daerah tersebut mampu untuk mandiri. Oleh karena itu sesungguhnya aspek
pendanaan tidak dapat dijadikan obyek masalah.
Bertambahnya
205 daerah otonom baru dapat diartikan bahwa telah terjadi perluasan wilayah
terbangun (built-up area) secara progresif dan merata di berbagai pelosok
Indonesia. Sudah barang tentu perkembangan wilayah seperti ini prosesnya
berbeda dengan perkembangan wilayah yang terjadi secara alamiah sebagaimana
dijelaskan pada awal tulisan ini. Perbedaannya adalah bahwa keberlangsungan
perkembangan wilayah dalam kerangka otonomi daerah sangat tergantung pada
ketersediaan anggaran dari pemerintah pusat.
Persoalannya
adalah berapa lama waktu dibutuhkan untuk daerah otonom dapat berkembang secara
mandiri? Apakah pemerintah memiliki anggaran yang cukup untuk memenuhi dana
yang dibutuhkan untuk kegiatan pembangunan di daerah otonom baru, yang
cenderung semakin besar setiap tahun?
Oleh
karena itu ke depan, pemerintah perlu lebih cermat dalam memutuskan pembentukan
daerah otonom baru dengan mempertimbangkan kelayakan persyaratan dan potensi
wilayah antara lain dari segi kinerja keuangan pemerintah, ketersedian sumber
daya-sumber daya didaerah, dimensi geografis, ekonomi dan lain sebagainya. Dengan
demikian, perkembangan wilayah dari daerah otonom baru yang terbentuk dapat
tumbuh dan berkembang secara mandiri tanpa ada ketergantungan dari bantuan
pendanaan dari pemerintah (tidak menimbulkan beban bagi pemerintah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar