Laman

Rabu, 08 Januari 2014

MODEL PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA



1.1 Menurut UU No. 5 Tahun 1974
Ø  UU No 5 Tahun 1974 tidak mengatur desa, tetapi diatur secara detail dalam UU No 5 Tahun 1979. Desa  adalah kesatuan administrasi pemerintahan terendah dibawah kecamatan dan diseragamkan di seluruh negara kesatuan Republik Indonesia.

                format UU No 5 Tahun 1974  tentang pemerintahan daerah yang dinilai sentralistik dengan konotasi kurang demokratis, yaitu kepala daerah memberikan pertanggungjawaban kepada pemerintah diatasnya dan memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, tetapi tidak ada statement menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Dalam rumusan konstitusi, tepatnya pasal VI tentang pemerintahan daerah, secara implisit desa memang tidak diatur secara jelas, sehingga pengaturan tentang desa dimasukkan dalam Undang Undang tentang pemerintahan daerah, sehingga hal ini menimbulkan sedikit banyak masalah terutama tentang pengaturan desa itu sendiri.
Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan UU 5 tahun 1979 yang menempatkan desa langsung berada di bawah camat menunjukkan posisi yang jelas, bahwa desa langsung ditempatkan berada di bawah kontrol pemerintah pusat. Menimbulkan pertanyaan apakah sebaiknya desa tidak diatur secara tersendiri dalam UU khusus tentang desa yang terlebih dahulu diberi posisi yang jelas dalam konstitusi mengingat desa dalam sejarahnya adalah pemerintahan asli, eksis dan dihormati warganya dengan adat khasnya.
Pada kenyataannya, sekarang terjadi banyak disharmonisasi antara hubungan kepala desa beserta perangkatnya dengan BPD, antara pemerintahan desa dengan pemerintahan kabupaten. Perda yang dibuat oleh kabupaten yang mengatur tentang desa tidak dapat serta merta diterima oleh pemerintah desa.
Hal seperti itu sangat masuk akal sebab selama pemerintahan Orde Baru kedudukan kepala desa sangat kuat dan hampir tidak pernah mendapat kritik dari masyarakat. Kalaupun ada masukan dari masyarakat, kedudukan kepala desa tidak pernah terganggu. Hal yang memungkinkan terjadinya konflik adalah dukungan kepala desa datangnya dari basis massa politik aliran



1.2 Menurut UU No. 22 Tahun 1999

Ø  UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004 menetapkan desa relatif mandiri dan pengaturannya diserahkan kepada kabupaten. Desa mempunyai pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa, tetapi desa sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur  dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota.

Pasal 102
Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 101, Kepala Desa :
a. bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa; dan
b. menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan yang besar kepada Daerah Otonom untuk menjalankan kewenangan untuk mengurus kepentingan masyarakat setempat. Begitu juga kepada Desa sebagai kesatuan masyarakat yang berpemerintahan sendiri (self governing society). Pola pertanggungjawaban kepala Desa tidak lagi ke atas (kepada camat), melainkan ke samping. Hal tersebut nampak dari bunyi Pasal 102 UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa. Dengan demikian, hubungan kerja antara Camat dengan Kepala Desa tidak lagi bersifat subordinasi.

Mekanisme pertanggungjawaban Kepala Desa sebagaimana diatur di dalam Pasal 102 huruf (a) dapat ditafsirkan ke dalam 3 (tiga) model yakni:
Model pertanggungjawaban dengan kemungkinan adanya penerimaan atau penolakan LPJ Kepala Desa oleh BPD setelah berkonsultasi dengan rakyat, yang dapat membawa konsekuensi pemberhentian Kepala Desa sebelum masa jabatannya berakhir;
Model pertanggungjawaban Kepala Desa kepada BPD sebagai cara untuk mengawasi jalannya pemerintahan Desa melalui konsultasi dengan rakyat;
Model pertanggungjawaban Kepala Desa sebagai cara mengawasi jalannya pemerintahan Desa dengan diputuskan sendiri oleh BPD tanpa konsultasi dengan rakyat.
Jika sebelumnya desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan terendah dibawah camat, maka menurut UU No 22 Tahun 1999 desa ditempatkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya.
Karena berbagai kelemahan tersebut, maka UU No 22 Tahun 1999 diganti dengan berlakuknya UU No 32 Tahun 2004. Secara mendasar, ada berbagai argumentasi yang melandasi alasan mengapa perlu dilakukan  revisi terhadap UU No 22 Tahun 1999. UU No 22 Tahun 1999, dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, kepala desa bersama-sama dengan BPD bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan rumah tangganya sendiri. Kepala desa merupakan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan dan pembangunan dengan segala aspeknya. Dalam hal ini, BPD merupakan wadah yang menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Setiap keputusan kepala desa yang bersifat mengatur dan mempunyai akibat pembebanan terhadap masyarakat harus dimusyawarahkan dengan BPD. BPD merupakan lembaga yang seharusnya mengkomunikasikan politik pemerintah melalui musyawarah untuk mempertemukan kebijakan pemerintah dengan kepentingan masyarakat desa.
Namun demikian, secara cita-cita ideologis, apa yang di atur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tersebut, seringkali berbenturan dengan realita yang ada di masyarakat. Berbenturan dalam arti pelaksanaannya seringkali bahkan dapat dikatakan hampir tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Sebagai gambaran adalah fenomena yang terjadi pada pemerintahan desa di wilayah Kabupaten Probolinggo, khususnya desa-desa di Kecamatan Kotaanyar. Setiap desa di Kecamatan ini telah mempunyai Lembaga BPD sebagai bentuk implementasi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Desa-desa tersebut menjadi menarik untuk dikaji, sebab aturan-aturan atau tatanan dan pola-pola yang dibuat oleh pemerintah lebih didasari pemahaman yang sentralistik sekaligus seragam.



1.3 Menurut UU No. 32 Tahun 2004
                Kepada rakyat memberikan informasi, kepada DPRD memberikan keterangan pertanggungjawaban, kepada pemerintah diatasnya memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (UU No 32 Tahun 2004; Pasal 27 ayat 2, 3 dan 4).
                UU No 32 Tahun 2004 menggunakan statement yang halus, kelihatan lebih demokratis yaitu bukan “memberikan pertanggungjawaban kepada pemerintah diatasnya” melainkan “kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah”.  Isi pasal 27 ayat 2, 3 dan 4 terlihat bahwa pemerintah lebih mewakili pemilih daripada DPRD dalam mengawasi jalannya kepemimpinan kepala daerah yang berarti sejauhmana kekuasaan yang diberikan pemilih/rakyat betul-betul digunakan untuk kepentingan rakyat. 
. “Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya……


Namun demikian, ada beberapa ketentuan yang kemungkinan besar dapat menimbulkan dampak yang kontraproduktif bagi perkembangan otonomi desa. (1) Terletak pada pengaturan yang terkesan menginginkan resentralisasi. Kekuasaan daerah yang terlalu besar, berusaha ditarik kembali dengan memperkuat kontrol pusat pada daerah. Gejala resentralisasi ini dapat dilihat dari ketentuan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang tidak lagi kepada DPRD dan juga pertanggungjawaban kepala desa yang tidak lagi kepada BPD tetapi kepada unit pemerintahan diatasnya. Dalam kerangka itu, maka pejabat berwenang pada unit pemerintah diatasnya berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. (2) UU No 32 tahun 2004 berupaya untuk memperkuat kedudukan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, agar tidak dengan mudah dapat diturunkan oleh kekuatan DPRD, dengan membuatnya lebih loyal pada atasan. Inilah yang oleh banyak kalangan disebut dengan desain neokorporatisme. Di tingkat desa, UU No 32 Tahun 2004 berusaha menghindari konflik antara kepala desa dan BPD yang sebelumnya sudah sangat sering terjadi. Melalui Pasal 209, Badan Perwakilan Desa diganti dengan Badan Permusyawarakatan Desa. Kepala desa sudah tidak lagi mempertanggungjawabkan pelaksanaan pemerintahan desa kepada BPD melainkan kepada Bupati/Walikota. (3) Adanya pengaturan dalam UU No 32 Tahun 2004, yang amat memungkinkan terintegrasikannya secara kuat desa kedalam wadah negara secara formal (birokratisasi desa). Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 200 ayat (3) bahwa desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda. (5) (Kuatnya posisi desa dalam format ini di satu sisi, dan euphoria demokrasi serta belum matangnya aktor politik desa dalam menjalankan manajemen politik lokal di pihak lain, kerap menimbulkan ketegangan antara desa dengan unit-unit diatasnya seperti kecamatan, maupun kabupaten.


                                     


Minggu, 05 Januari 2014

TEORI-TEORI MOTIVASI

Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan..
Motivasi dapat berupa motivasi intrinsic dan ekstrinsic. Motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobbynya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi.
Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti apa. Landy dan Becker membuat pengelompokan pendekatan teori motivasi ini menjadi 5 kategori yaitu teori kebutuhan,teori penguatan,teori keadilan,teori harapan,teori penetapan sasaran.

A. TEORI MOTIVASI ABRAHAM MASLOW (1943-1970)

Abraham Maslow (1943;1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks; yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting.
 







• Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)
• Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)
• Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki)
• Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan)
• Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri: mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya)
Bila makanan dan rasa aman sulit diperoleh, pemenuhan kebutuhan tersebut akan mendominasi tindakan seseorang dan motif-motif yang lebih tinggi akan menjadi kurang signifikan. Orang hanya akan mempunyai waktu dan energi untuk menekuni minat estetika dan intelektual, jika kebutuhan dasarnya sudah dapat dipenuhi dengan mudah. Karya seni dan karya ilmiah tidak akan tumbuh subur dalam masyarakat yang anggotanya masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman.

B. TEORI MOTIVASI HERZBERG (1966)
Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktorhigiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik).

C. TEORI MOTIVASI DOUGLAS McGREGOR
Mengemukakan dua pandangan manusia yaitu teori X (negative) dan teori y (positif), Menurut teori x empat pengandaian yag dipegang manajer
a.       karyawan secara inheren tertanam dalam dirinya tidak menyukai kerja
b.      karyawan tidak menyukai kerja mereka harus diawasi atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
c.       Karyawan akan menghindari tanggung jawab.
d.      Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua factor yang dikaitkan dengan kerja.

Kontras dengan pandangan negative ini mengenai kodrat manusia ada empat teori Y :
  1. karyawan dapat memandang kerjasama dengan sewajarnya seperti istirahat dan bermain.
  2. Orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka komit pada sasaran.
  3. Rata rata orang akan menerima tanggung jawab.
  4. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif.

D. TEORI MOTIVASI VROOM (1964)
Teori dari Vroom (1964) tentang cognitive theory of motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
• Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas
• Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu).
• Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau negatif.Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapanMotivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan

E. Achievement TheoryTeori achievement Mc Clelland (1961),
 yang dikemukakan oleh Mc Clelland (1961), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:
• Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
• Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow)
• Need for Power (dorongan untuk mengatur)

F. Clayton Alderfer ERG
 Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini sedikit berbeda dengan teori maslow. Disini Alfeder mngemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerakk yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu kewaktu dan dari situasi ke situasi.